Tulisan ini saya buat untuk Majalah3 edisi Reuni Akbar SMA3 Bandung 2016. Lama sekali saya ga nulis baik serius maupun santai. Blog saya sudah 2 tahun lebih tak saya isi ketika saya terlibat dalam pembuatan majalah ini. Sebenarnya saya khawatir sudah kehilangan grip wawancara dan menuangkannya dalam tulisan saat terjerumus di dalam proyek ini. Alhamdulillah menurut pemimpin redaksi tulisan saya masih seperti jurnalis pada masanya (masa2 galau maksudnya, bukan jurnalis serius). Saya salin tulisannya di sini karena banyak buah pikiran dan pelajaran yang dapat diambil dari hasil wawancara dengan para narasumber.
Merantaulah..
Merantaulah.. Orang berilmu dan beradab, tidak diam beristirahat di kampung halaman.. Tinggalkan negerimu dan hiduplah di negeri orang.. Merantaulah.. Kau kan dapati pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan.. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup kan terasa setelah lelah berjuang.. Aku melihat air menjadi kotor karena diam tertahan.. Jika mengalir, ia kan jernih.. Jika diam, ia kan keruh menggenang.. Singa jika tak tinggalkan sarang, tak kan mendapatkan makanan.. Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak kan mengenai sasaran.. Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam.. Tentu manusia kan bosan, dan enggan untuk memandang.. Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah.. Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika terus berada di dalam hutan.. Jika bijih emas memisahkan diri, barulah ia menjadi emas murni yang dihargai.. Jika kayu gaharu keluar dari hutan, ia kan menjadi parfum yang bernilai tinggi..
Syair termasyur dari Imam Syafi’I tersebut seakan oase menyejukkan bagi para perantau yang jauh dari tanah air. Tak sedikit di kalangan para perantau yang tetap merindu tanah air meski telah hidup dan membangun kehidupan di perantauan.
Antara Motivasi dan Kondisi
Banyak hal yang menjadi sebab dan memotivasi setiap orang untuk merantau keluar negeri. Sebagian karena melanjutkan belajar di jenjang berikutnya, ada juga yang ditugaskan oleh kantor, tak jarang karena mengais rizki di negeri orang, ada pula para istri yang mendampingi suami dan menjaga keluarga.
Sebagian memulainya di usia sangat muda. Seperti Rina Kartina yang selulusnya dari SMA 3 tahun 1995 langsung merantau ke Amerika Serikat. Keberanian yang patut diacungi jempol bagi pelajar berkerudung di usia galau pada masa itu. Demi menuntut ilmu, Rina berangkat ke Oklahoma State University, Oklahoma, USA sebelum kemudian transfer kuliah ke Ohio State University, Ohio, USA dan lulus S1 akhir tahun 1998.
Banyak pula yang mulai merantau setelah lulus sarjana strata 1. Apalagi beasiswa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya banyak tersedia baik dari pemerintah maupun swasta di dalam dan luar negeri. Muhamad Reza, lulusan SMA 3 tahun 1993, segera setelah menjadi sarjana elektro berangkat merantau ke TU Delft, Belanda, dengan satu tujuan; menuntut ilmu dan membuka wawasan untuk kemudian berbagi pengetahuan sesuai tekadnya menjadi dosen.
Ada juga Rany Agustina Susanti yang lulus dari SMA 3 pada tahun 2005 dan melanjutkan pendidikan sarjananya di ITB. Setelah meraih gelar sarjana teknik, Rany melanjutkan studinya di tempat yang sama kemudian mengikuti program pertukaran pelajar (Exchange Student Program) dari Erasmus Mundus di Ghent University, Belgia.
Tekad dan motivasi yang kuat adalah awal keberanian merantau. Lingkungan keluarga terdekat yang kondusif mendukung menjadi semacam penguat tekad bagi para perantau muda belia. Bagi Rina, motivasi dari orang tua yang menginginkan putra putrinya mandiri menjadi modal penting. Bukan hanya motivasi, namun juga gemblengan sejak kecil yang mengondisikan untuk mandiri. Bentuk pendidikannya sederhana saja tapi cukup meninggalkan jejak, misalnya kalau ke rumah nenek ikut dengan truk pengiriman ayam ke Ciamis atau jika ada karyawan perusahaan orang tua mencari suku cadang mesin ke Jakarta diharuskan ikut, bersama karyawan anak SD celingak celinguk berburu suku cadang di Glodok atau Pasar Kenari
Sementara bagi Reza dan Rany, merantau didasari oleh keinginannya untuk melanjutkan sekolah dengan membuka wawasan dan memperluas pengalaman. Apalagi Reza yang sejak awal sudah bertekad menjadi dosen, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tentunya mutlak diperlukan. Pilihan melanjutkan sekolah di luar negeri membuka peluang untuk memperluas jaringan selain memperkaya pengalaman, membuka wawasan, dan menyerap ilmu dan teknologi terbaru.
Kesempatan bekerja di luar negeri semakin banyak dilirik sejak badai krisis moneter 1998. Lebih kurang 10 tahun kemudian, ketika harga minyak dunia meroket, kebutuhan tenaga ahli pengolahan minyak dari Indonesia banyak disukai di seluruh belahan dunia sehingga memicu peningkatan para pekerja perantau. Pendapatan dan insentif yang jauh lebih besar menjadi motivasi utama selain keinginan meningkatkan nilai curriculum vitae dengan melebarkan sayap pengalaman dan memperkaya wawasan terutama di bidang pekerjaan yang sesuai.
Selain para pekerja yang berpindah dari dalam keluar negeri untuk menikmati kehidupan sebagai ekspatriat, para alumni sekolah luar negeri pun tak jarang akhirnya melanjutkan kehidupannya di luar Indonesia karena mendapat pekerjaan di tempat perantauannya. Intan Ambari, alumni SMA 3 lulus tahun 1995, yang niat awal merantau melanjutkan pendidikan sebagai modal menjadi dosen beralih haluan dengan menjadi profesional di Perusahaan Belanda, Shell Nederland Chemie B.V. Kondisi kampus tempat ia mengabdi di saat itu memaksa Intan mengalihkan pilihannya. Demikian pula Reza yang setamatnya S2 melanjutkan S3 dan akhirnya berlabuh menjadi pekerja industri di ABB Swedia.
Adaptasi dan Kehidupan Sosial
Menjalani kehidupan yang berubah ritme saja sering membuat kelabakan, apalagi diiringi perubahan adat istiadat setempat, sistem sosial dan kenegaraan, juga kondisi lingkungan, cuaca dan iklim. Tak mengherankan kalau masa-masa awal pindah negara adalah masa terberat perantau. Belum lagi penyakit malarindu tropikangen yang kerap melanda terutama bila ini saat pertama jauh dari keluarga. Masa adaptasi adalah kunci kenyamanan menjalani hari-hari selanjutnya di tanah nun jauh dari negeri.
Biasanya sesama orang Indonesia akan sering berkumpul dengan kawan sekampung, belanja bersama, memasak dan kemudian mencicip makanan sambil ngobrol dalam bahasa Indonesia, berbagi cerita dan informasi. Ketika masa-masa adaptasi sudah dilalui dengan baik, fokus utama pun segera dapat dijalani. Seiring berjalannya waktu, selain fokus dan menjalani tujuan utama, dimulai juga kehidupan sosial lainnya. Bergabung dengan organisasi pelajar ataupun profesional, aktif di kelompok keagamaan, maupun turut sumbang waktu, tenaga dan pikiran di organisasi-organisasi budaya yang banyak berperan memperkenalkan Indonesia dalam arti positif.
Tak jarang yang tadinya tidak pernah bersentuhan dengan budaya tradisional, mendadak jadi penari yang gemulai di panggung, pandai memainkan angklung, bahkan merdu menyanyikan lagu daerah. Kulinari Indonesia yang luar biasa kaya juga sering dimanfaatkan oleh para perantau saat ada festival budaya untuk membuat dan berjualan makanan khas cita rasa tanah air.
Di negara-negara dengan populasi pejuang devisa yang tinggi seperti Timur Tengah, Malaysia, dan Hongkong, peran para istri perantau yang mendampingi suami pun sangat berarti dalam membantu pemberdayaan para TKI dan TKW. KBRI biasanya membuka pintu bagi warga Indonesia yang memiliki waktu untuk membantu memberdayakan mereka baik bagi mereka yang lancar dan aman maupun yang sedang bermasalah dan ditampung di shelter KBRI. Rutin para istri ekspatriat asal Indonesia ini memberikan pendidikan yang bermanfaat terutama yang bisa digunakan sebagai sumber mencari nafkah atau penunjangnya; seperti keterampilan menjahit, memasak, dan reparasi elektronik serta kemampuan bahasa Inggris dasar. Mereka juga aktif memberikan konseling psikologis maupun siraman rohani dengan pendidikan agama.
Selain terlibat dalam orginasasi baik informal maupun formal, para perantau yang sukses selalunya tergerak untuk memberdayakan para perantau asal Indonesia lainnya yang masih berjuang maupun berusaha bertahan di rantau guna menyelesaikan studi maupun mempertahankan hidupnya. Bagi Reza, meski keinginannya menjadi dosen akhirnya harus berubah menjadi pekerja industri, minat dan bakatnya di bidang pendidikan tersalurkan dengan memberikan bimbingan kepada mahasiswa-mahasiswa yang tertatih-tatih menyelesaikan studinya di luar negeri. Tak hanya dukungan materi pelajaran, tapi juga konsultasi dari sisi motivasi, taktik dan strategi serta penajaman kemampuan pribadi.
Bagi para pengusaha, berpindah negara bukan berarti harus total berhenti dari aktivitas usaha di Indonesia. Di zaman digital di mana segala sesuatu hanya sejauh satu klik, bahkan perusahaan pun masih bisa dijalankan jarak jauh. Rina, yang kembali harus merantau pada tahun 2012 untuk mendampingi suami yang kala itu bekerja di Abu Dhabi, tetap menjalankan perusahaannya yang terus tumbuh dan berkembang. Pemilik merk dagang Mukena Tatuis ini sekarang masih saja merantau mendampingi suami dan menjaga keluarga yang menetap di Manchester dan PT Tatuis Cahaya International masih terus eksis di bawah kepemimpinannya bahkan karyawannya meningkat lebih dari 3 kali lipat.
Menyambut Tantangan dan Berkiprah di Pentas Global
Berkiprah dan melanjutkan karya di negara lain adalah tantangan tersendiri bagi para perantau. Reza, yang sejak kecil selalu menjadi pelajar terbaik di Indonesia, di masa awal perantauannya merasakan beratnya perubahan paradigma. Terbiasa pasif menjadi harus aktif, terdoktrin terhadap satu jalan menjadi terbuka dengan berbagai kemungkinan. Butir-butir penting yang digarisbawahi untuk keluar dari kesulitan dan memenangkan pertarungan adalah mengenali kelemahan dalam teknik komunikasi. Kesulitan menyampaikan buah pikirian dengan tepat, akurat, dan baik tanpa emosi adalah yang pertama harus diatasi. Yang selanjutnya; kesulitan bekerja sama yang dibangun dari sikap berkompetisi sejak dini di lingkungan sekolah dahulu menjadi tantangan yang perlu ditaklukan. Menanamkan dalam hati bekerja sama bukan berarti kalah dalam bersaing melainkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Ketika kelemahan-kelemahan mendasar telah dikenali dan diatasi, berkiprah di dunia global bukan lagi hal mustahil. Sejak meraih best grade average sebagai mahasiswa pasca sarjana di Delft University of Technology, Reza terus maju baik di bidang studi maupun setelah memasuki dunia profesional.
Tantangan lain bagi para pekerja profesional Indonesia adalah meningkatkan citra Indonesia di mata dunia, terutama di negara-negara yang banyak memanfaatkan tenaga kerja domestik Indonesia. Di negara-negara Timur Tengah, Malaysia, atau Hongkong, bagi warga baik penduduk lokal maupun pendatang, Indonesia adalah masyarakat kelas dua, padahal ada ratusan bahkan ribuan profesional Indonesia. Pekerja profesional Indonesia jadi semakin dituntut untuk mampu menunjukkan kinerja terbaiknya.
Tinggal di mana pun di berbagai belahan dunia, suka dan duka selalu dipergilirkan, demikian pula kemudahan dan tantangan. Jauh dari lingkungan keluarga terdekat, urusan izin tinggal dan legalitas, tak jarang pula diskiriminasi SARA adalah cerita-cerita kesulitan perantau yang sering luput dari pandangan. Keinginan kembali ke Indonesia, berbakti dan berkiprah untuk negara masih ada di hati kecil sebagian besar perantau. Semoga para perantau yang kembali membawa pengalaman-pengalaman terbaiknya untuk lebih memberdayakan lagi bangsa Indonesia.
Musim semi yang cerah memang selalu menggoda untuk jalan-jalan di luar kala akhir pekan tiba. Pilihan kali ini jatuh ke kota Koeln atau lebih di kenal dengan nama Cologne, muasal eau de toillete terkenal di masa saya kecil. Ini gara-gara tweet Kang Abik alias Ustadz Habiburrahman El Shirazy yang waktu itu mampir ke Koeln dan pamer foto Masjid Raya Koeln. Baru tersadar kalau masjid kontroversial itu sudah jadi. Kenapa kontroversial? Ceritanya panjang deh hehehe. Jadi kita penasaran dong pengen liat :). Sejujurnya segala tentang masjid di Eropa ini menarik perhatian kami. Kalau ingat masa sekolah 10-11 taun yang lalu (aiiih, udah lama berlalu ya), melihat perkembangan Islam di Eropa sungguh cukup membahagiakan dan masjid adalah salah satu indikator pembawa bahagia. Dulu masjid jarang sekali, kebanyakan masjid hanya nampak seperti rumah atau apartemen biasa, bahkan tanpa papan nama pengenal. Sekarang masjid bisa berdiri megah menegaskan eksistensinya dan banyak tersebar di mana-mana.
Ngobrol sama teman-teman akhirnya ada 5 keluarga yang mau berangkat bareng ke sana. Jadi kita pergi bareng-bareng dari Nootdorp sekitar jam 8.30 pagi. Mampir di pom bensin Benekkom (daerah Wageningen) buat menjemput Sarah, terus lanjut jalan ke Koeln. Sebelumnya mampir di bengkel TUV Krefeld gara-gara ga punya stiker Environmentally Friendly Car yang diperlukan buat masuk ke dalam kota Koeln. Sebenernya dulu pernah punya, tapi trus kaca mobil tu sempet retak dan diganti. Trus berusaha diambil dari kaca ga berhasil akhirnya direlakan deh. Kebetulan 3 mobil yang pergi juga belum punya stiker itu jadi konsisten konvoi. Setelah urusan sekitar setengah jam (untuk 3 mobil), kami melanjutkan perjalanan. Karena waktu yang udah siang, tujuan pertama adalah mencari perisitirahatan yang representatif menampung 20 orang anggota rombongan yang terdiri dari 11 dewasa dan 9 anak. Makan siang yang Indonesia sekali, mengenyangkan dan memuaskan, Insya Allah terjamin halal.
Lepas makan siang langsung menuju pusat kota Koeln yang sedang bebenah (baca: pembangunan di mana-mana, jalan ditutup di mana-mana, macet cettt…). Sampe susah cari tempat parkir hehehe. Akhirnya menumpang parkir di Hotel Mondial. Dasar ya orang dusun, dulu waktu di KL pengen banget nyobain parkir mobil yang mobilnya masuk ke lift trus dibawa ke lantai tempat parkir mobilnya, ada tuh di Plaza GM Chow Kit. Cuman ga pernah ada keperluan ke Plaza GM hahaha… Eh, kesampean koq jauh banget di Koeln ya :D.
Dari parkiran kita jalan ke Koelner Dom, bahasa Jerman untuk Katedral. Katedral cakep ini terletak di tepi sungai Rhein, terbesar diantara gereja Ghotic di Eropa Utara. Panjangnya 144,5 meter, lebar 86.5 m dan menaranya hampir 157 m. Dua menaranya yang sangat besar ini yang menjadikannya fasad gereja terbesar di dunia. Dalemnya karena tinggi jadi adem banget. Turis ramai sekali sementara yang lagi misa pun tak terusik.
Setelah liat-liat interior katedral, kami berjalan menuju pusat kota menyusur pinggir sungai Rhein. Dalam perjalanan melewati tempat orang memadu janji disimbolkan dengan kunci gembok. Kayanya di Eropa ini orang seneng banget memadu janji dengan kunci gembok ya, menuliskan nama di atas gembok trus menggembok pinggir jembatan. Tepi sungai Rhein yang merupakan taman kota padat dengan manusia yang bahagia menjumpai matahari, berasa di terminal Cicaheum…
Ujung perjalanan membawa kami ke pusat kota tua yang cantik.Setelah beli-beli souvenir (keluarga kami sih makan piza dari kedai turki yang ada di sana sementara anak-anak terus bermain berlarian), kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Raya Koeln untuk menunaikan sholat Zhuhur dan Ashar.
Ternyata masjidnya sendiri belum rampung sepenuhnya. Bagian luarnya memang sudah rapi dan cantik, mengikuti gaya arsitektur Ottoman terdiri dari kubah dengan gelas kaca yang melambangkan keterbukaan dilengkapi dengan dua minaret setinggi 55 m. Luas masjid dirancang mencapai 4,500 m2 dan dapat menampung 2000 – 4000 jamaah. Masjid ini diarsiteki oleh Paul Böhm yang sebenarnya spesialis arsitek gereja.
Bagian dalamnya masih sangat darurat. Yang penting bisa wudhu dan sholat. Rencananya sih nanti terbagi 3 lantai. Lantai dasar untuk entrance point dan bazar, bawah tanah untuk kelas-kelas pengajaran, dan bagian atas untuk tempat sholat.
Masjid juga dilengkapi dengan tempat parkir di bagian bawah. Haru lihat masjid seperti ini di Koeln, teringat cerita kontroversinya saat pembangunan.
Proyek masjid ini ditentang banyak pihak, terutama karena kekhawatiran masjid ini akan memberdayakan umat Islam di Koeln. Deputi walikota berpikir bahwa penduduk kota Koeln juga akan menolak pendirian masjid ini karena mereka percaya bahwa Koeln adalah “Christian city”. Pernyataan bahwa masjid adalah deklarasi perang dan keengganan menerima semakin banyak perempuan berkerudung di jalanan Jerman semakin menguatan penolakan terhadap sang masjid. Namun seorang jurnalis, Henryk M. Broder mengatakan bahwa sebuah masjid sama saja dengan sebuah gereja ataupun sinagog. Kenyataan bahwa 200 tahun yang lalu umat Protestan harus beribadah secara rahasia di lingkungan Katolik Koeln (which is something we can’t imagine nowaday), dan opini publik yang terus berkembang membawa pada polling yang menunjukkan 63% warga menyetujui pembangunan masjid ini dan 27% diantaranya menginginkan pengurangan luas masjid.
Pada tanggal 28 Agustus 2008, pemerintah kota Koeln akhirnya menyetujui pembangunan masjid setelah seluruh partai setuju kecuali CDU. Di luar balaikota, 30 pemrotes menentang keputusan ini sementara 100 orang demonstran mendukungnya. Allahu musta’an.
Seperti biasa, anak-anak ada libur seminggu di awal tahun. Orang Belanda bilangnya voorjaar vakantie, libur awal tahun sebelum musim semi dimulai. Libur selalu jadi kesempatan buat pergi keluar Belanda mengingat kalau bolos di hari biasa kena denda 50 Euro per anak. Awalnya ingin menyaksikan jejak keemasan Islam di Malaga, Spanyol, tapi nunggu harga tiket turun tak terjadi. Setelah berniat diem di rumah aja liburan (dan bapak ga perlu ambil cuti) dengan pertimbangan dingin juga, tetiba berubah rencana. Akhirnya kita pergi ke Ardennes, Wallonia, Belgia. Pertimbangannya; deket, bisa naek mobil, alamnya indah, cocok buat yang pengennya liburan santai aja. Kita milih nginep di Landal, resor pinggir danau yang cantik. Modelnya challet-challet gitu, satu challet bisa buat berempat. Dapur terbuka, ruang tv, 2 kamar, kamar mandi tersedia. Seprai dan sarung bantal pun disediakan tp harus pasang sendiri dan pas mau pulang harus diangkat lagi. Peralatan dapur juga lengkap cuma pas meninggalkan tempat sudah harus bersih lagi; dishwasher sudah dikosongkan, microwave kulkas kosong, lantai disapu, tak lupa sampah dibuang ke container yang disediakan di area resor.
Kita berangkat abis Jumatan karena anak-anak hari Jumat setengah hari menyambut voorjaar vakantie dan bapaknya abis jumatan emang selalunya ga balik ke kantor (Jumat selalu setengah hari). Anak-anak langsung pules di mobil. Kita sampe di perbatasan Belgi sekitar jam 1/2 5, terus maksudnya mau nyari mesjid atau pom bensin/tempat istirahat buat sholat ashar. Ternyata tol di Belgi hari itu macet banget. Dan Belgi ini agak susah pom bensin di pinggir tol. Pas udah jam 5 lewat dan papan informasi jalan bilang pom bensin masih sekian puluh kilometer lagi, akhirnya kita keluar di Anderlecht, mau cari pom bensin dalam kota. Alhamdulillaah pas keluar tol malah ga lama ketemu taman kota yang sepi dan ada danaunya. Akhirnya kita solat di taman dan wudhu di danau. Anak-anak sih justru seneng banget bisa wudhu di danau, pengalaman baru buat mereka meskipun awalnya males banget karena dingin.
Setelah sholat kita lanjutin perjalanan. Perkiraan juragan tomtom kita sampe dalam 3 jam setelah meninggalkan rumah, nyatanya tol macet berat. Akhirnya kita keluar dari tol mau lewat kota aja. Ealaaah, hari itu di dalam kota pun macet. Jarang banget liat jalan segitu ramenya di Eropa. Apalagi udah malem. Akhirnya kita sampe Landal, Froidchapelle, setelah perjalanan 5 jam. Abis makan malam, bobo semua deh.
Pagi terbangun dengan pemandangan matahari terbit di atas danau. Abis sarapan anak-anak keliling resor, main di playground, lari-lari di pinggir danau, foto-foto, nengok kambing di kandang, lompat-lompat di trampolin, pokonya menikmati aktivitas luar ruangan. Agak siangan setelah makan siang, anak-anak masuk ke Kids Club yang ada di resor itu. Mereka seneng banget melukis pake cat air, meewarnai pake spidol, trus Raisha juga main board game monopoli, kebetulan dia baru mulai suka dan bisa main monopoli, sementara Dinda minta face painting. Hari ini anak-anak puas banget main. Sorenya masih keluar lagi, main air di pinggir danau sambil nunggu sunset by the lake.
Besoknya, hari Minggu, baru deh jalan keluar dikit (atau banyak ya) di wilayah Wallonia. Tujuan pertama taman safari di desa kecil Hans sur Lesse. Sebenarnya desa ini lebih terkenal dengan gua-nya, tapi kayanya masih kurang cocok buat anak-anak sekecil Raisha-Dinda. Jadi lebih milih ke taman safari, liat-liat hewan sambil menikmati cantiknya pemandangan pegunungan. Dari kotanya (alun-alun desa maksudnya), kami naik kereta kecil ke pintu taman safari. Tiket masuk dibeli di kounter tiket di alun-alun desa, sepaket sama keretanya. Bisa milih mau muter di dalam taman safari naik kereta atau jalan sepanjang 2 km. Kami milih yang jalan karena pengen santai dan menikmati pemandangan. Meski keragaman hewan tak menandingin taman safari Indonesia, tapi kami cukup senang karena pengalaman berjalan sambil menikmati pemandangannya.
Seusai dari taman safari ternyata hari masih cukup siang. Dalam perjalanan pulang ke resor di Froidchapelle kami mampir di kota kecil yang cantik dan ramai, Dinant. Tujuan pertama ke Dinant Cita Delle (Benteng Dinan). Dari sana naik kereta gantung ke pusat kota yang tepat berada di bawahnya. Puas jalan-jalan di pusat kota, kembali ke atas benteng dan melihat-lihat keadaan benteng yang menyeramkan heuheuheu… Namanya benteng ya, serem ah liat canon, granat, penjara, alat siksa hiiii…
Anak-anak sih cuek aja semua dipake main. Sebelum pulang main dulu di playground yang ada di lingkungan benteng, bersebelahan dengan pemakaman. Eww, meni ga nikmat banget sebenarnya main di pinggir pemakaman.
Hari Senin, setelah bermalas-malasan pagi, beberes challet dan buang sampah, kami check-out menuju Den Haag. Di Brussel mampir untuk makan siang, sengaja pengen makan kebab di Brussel. Karena udah sampe Brussel, Raisha minta ke Maneken Pis. Ini ketiga kalinya lewat Brussel. Yang pertama cuma jalan-jalan di pusat kota, yang kedua ke Atomium dan Mini Europe sebelum mampir ke Jubelpark untuk sholat, dan yang ketiga ini akhirnya ke Maneken Pis juga. Raisha penasaran pengen liat karena mendengar sejarahnya dari guru di sekolah. Abis itu kembali ke sholat di Masjid Agung Brussel yang lokasinya di Jubelpark (bahasa Belanda) alias Parc du Cinquantenaire (bahasa Prancis). Abis sholat lagi-lagi anak-anak main di taman sebelum akhirnya pulang ke Den Haag. Bener-bener liburan yang menyenangkan, santai dan menyegarkan 🙂
Haji adalah salah satu momen ritual yang mengumpulkan kaum muslimin dari berbagai belahan dunia di rumahNya sehingga ibadah haji sering disebut sebagai salah satu ibadah sosial untuk menggalang persaudaraan dan solidaritas diantara sesama muslim. Tidak sepenuhnya salah, tetapi lebih dari itu, haji juga sebuah perjalanan ritual yang bersifat sangat individual. Haji menuntut kesiapan mental, fisik, dan ruhani dari masing-masing individu pelakunya. Ia memang ibadah yang dilakukan bersama-sama tetapi setiap orang akan menghayati perjalanannya sesuai dengan kapasitasnya.
Keinginan menunaikan rukun islam kelima telah lama ada, tetapi Allah selalu punya rencana yang lebih baik, mengalokasikan waktu terbaik bagi kami. Kami akhirnya mendapat kesempatan untuk berangkat dari Belanda. Sekitar taun 2010/2011 kami sebenarnya sudah ceki-ceki travel haji di Bandung, mencari yang itinerarynya menginap di Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah (tarwiyah). Ada beberapa yang melaksanakan tarwiyah tetapi saat itu harus antri 2-3 tahun dan Mas Sai ga bisa mastiin 2 atau 3 taun lagi posisinya ada di mana. Di Belanda kami tidak bisa memilih. Bukan karena tidak ada pilihan travel haji, tetapi karena ustadz yang biasa mengisi Pengajian Isnin adalah seorang muthowif di salah satu travel haji. Kayanya ga lucu banget kalo kita ikut travel haji yang lain. Jadi dengan membaca basmallah kami mendaftar dan membayar uang muka sekitar bulan April dan melunasinya menjelang Idul Fitri.
Berbeda dengan prosedur pendaftaran haji di Indonesia yang cenderung berbelit, selain itu nama juga harus terdiri dari 3 kata; di sini prosesnya sangat sederhana. Daftar, bayar uang muka, kemudian menjelang Idul Fitri diminta untuk melunasi sambil menyerahkan paspor dan sertifikat vaksin meningitis. Selanjutnya tinggal tunggu visa. Bahkan nama suami yang hanya satu alias single name pun tidak perlu di-addendum di paspornya. Saking sederhananya, kita juga jadi ga dapet itinerary, ga tau akan menginap di mana nanti di Mekkah ataupun di Madinah, sekamar berapa orang, apalagi mengetahui siapa saja teman sekamar kami nantinya. Terima aja nanti hahaha… Ada manasik haji tapi sangat sederhana dan simpel.
Untuk menyiapkan bekal ilmu, akhirnya kami belajar sendiri. Berdua dengan keluarga Mas Enang, 3 kali Jumat sejak ba’da ashar sampe tengah malam. Liat video2 di youtube, atau mendengar rekaman manasik haji di KL sambil mencatat dan mengingat2. Kami juga membuat itinerary bayangan untuk menjadi panduan kami sendiri tentang apa saja yang akan kami kerjakan selama di Mekkah dan Madinah. Selain itu, Mas dan saya juga ikutan manasik haji sama temen-temen di KL bersama ust. Muntaha via Skype. Kebetulan sebenarnya taun 2011 kami juga sempat jadi penggembira, ikutan manasik haji bersama teman2 yang akan berangkat tahun tersebut dan juga yang sudah waiting list untuk tahun berikutnya. Ternyata teman-teman di KL yang berangkat tahun 2013 ini adalah mereka yang ikut manasik tahun 2011 (karena waktu itu sudah waiting list), jadi berasa mengulang memori indah manasik di The Merits. Seperti biasa, saat manasik ustadz Muntaha hanya menerangkan ritualnya saja sedangkan untuk penghayatan diserahkan kepada masing-masing. Tetapi beliau pun memberi bahan-bahan untuk persiapan ruh dan penghayatan ibadah seperti terjamah tafsir Q.S. Al Hajj, terjemahan buku “Jalan Menuju Haji Mabrur”, keduanya karya Dr. Ruqaia al Alwanil, kemudian juga gambaran tentang Mekkah dan Madinah, tulisan tentang napak tilas perjalanan haji Nabi saw., dan tak lupa beliau mengingatkan untuk membaca buku tentang Sejarah Makkah dan Sejarah Madinah.
Singkat cerita, pada hari yang ditentukan, berangkatlah kami setelah mandi untuk ihram dan sholat safar di rumah. Anak-anak dititipkan kepada nini dan mamangnya yang diimpor dari Bandung. Buat saya ini pertama kali berpisah dengan anak-anak lebih dari 24 jam, selama ini kalau pisah ga pernah lebih dari sehari-semalam. Tapi saya percaya Allah akan menjaga mereka, disamping sudah jelas kami menitipkan ke orang-orang yang akan menjaga anak-anak jauh lebih baik dari orang tuanya. Mamangnya yang tiap hari antar jemput sekolah dan belanja keperluan sehari-hari. Nini yang ngurus segala keperluan domestik dan anak-anak. Semoga Allah memberi mereka pahala yang berlipat ganda. Kami berangkat naik taksi dari rumah. Cuman modal sms; pesawat Turkish Airline nomor penerbangan sekian-sekian, jam 12.00, kumpul di vertrek (departure) 3 jam 9 pagi. Dan kami berada di sana jam 8 lewat lewat dikit karena supir taksi pesenan datang kecepetan sambil maksa kami untuk cepat berangkat (karena kayanya dia ditunggu customer lain).
Setelah ketemu dengan muthowif kami, kami mendapatkan tiket pesawat dan segera check-in. Baru setelah itu kami bertemu dengan kelompok besar travel haji kami yaitu travel haji milik turki, Milli Gorus. Dimulailah perjalanan ini. Kami memasuki pesawat setelah berdoa bersama. Di pintu kami mendapat paket dari Turkish Airline berupa tas tangan kecil berisi sabun tak berwangi, sajadah lipat, tas kecil tempat sepatu, dan dompet kecil untuk menyimpan uang atau dokumen, alhamdulillah, padahal semuanya sudah kami peroleh juga dari Milli Gorus, jadi punya pengganti kalau kotor :). Di dalam pesawat ada majalah travel turkish airline yang untuk terbitan kali ini khusus membahas haji. Majalah yang sangat sangat bagus (saking bagusnya jadi sangatnya dua kali) berisi tentang sejarah tempat-tempat yang akan dikunjungi di Mekkah dan Madinah, tips kesehatan bagi jamaah haji, dan informasi umum lainnya yang berkaitan dengan haji. Membacanya sangat membantu meningkatkan penghayatan perjalanan haji kita.
Sekitar 3 jam kemudian kami tiba di Turki untuk transit selama 2 jam. Waktu yang cukup untuk kami sholat sunnah dan bagi para pria mengganti pakaian dengan ihrom. Ketika kami siap untuk naik pesawat lagi, ada pemberitahuan bahwa pesawat akan terlambat selama 5 jam. Jadi para jamaah mulai menduduki tempat duduk di area food court bandara, masih dengan pakaian ihrom. Mengundang tanya dari turis asing yang ada di bandara. Satu diantaranya dari Swedia datang ke meja kami dan bertanya hendak ke mana kami dan mengapa berpakaian seperti itu. Sebagai orang Indonesia, kita selalu agak segan bercerita panjang lebar tentang ritual agama kepada orang asing secara terperinci. Kebetulan seorang diantara kami adalah orang Belanda (suaminya orang Indonesia), akhirnya dia-lah yang melengkapi cerita kami. Detil terperinci bahkan dimulai dari cerita perjalanan Nabi Ibrahim as hingga turis Swedia itu merasa puas.
Akhirnya 5 jam berlalu, dan kami mulai memasuki pesawat. Anyway busway, semua pengumuman dibuat dalam bahasa Turki dan kalau ada yang nanya baru diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Barulah saya sadar di situ ternyata bahasa Belanda saya lumayan juga (ya iyalaaaah kalo dibanding bahasa Turki). Sampai di atas Qornul Manazil yang merupakan tempat miqat bagi jamaah yang datang dari arah Kuwait, Eropa, Asia Tenggara, pemimpin rombongan mengingatkan untuk melafalkan niat (kali ya, soalnya dia ngomong bahasa Turki terus melafalkan niat dalam bahasa Arab). Setelah itu mulailah jamaah bertalbiah hingga sampai di Jeddah.
Setelah melewati pos-pos pemeriksaan dibandara King Abdul Azis Jeddah, akhirnya kami memasuki bis yang membawa kami ke hotel setelah sebelumnya mengumpulkan paspor kami kepada pihak travel agar kami tak repot menjaga dokumen penting tersebut. Kami hanya dibekali gelang merah yang menyatakan nomor maktab kami di Mina dan Arafah serta alamat hotel. Ternyata hotel kami dekat dengan Mina, hanya 2 km dari jamarot. Tiga tower hotel di area tersebut diisi oleh jamaah haji dari travel Milli Gorus seluruh Eropa. Petugas hotel pun dari Milli Gorus sehingga lagi-lagi semua harus dalam bahasa turki. Minta kunci dari resepsionis aja harus nulisin angkanya karena ga bisa bahasa lain selain Turki. Tapi petugas restoran dan kebersihan adalah tki dan tkw Indonesia. Jadi untuk masalah minta bersih-bersih dan nanya menu makanan kita ga kesusahan. Malah orang-orang Turki itu yang susah nanya dan nyuruh bersihin kamar karena para tki-tkw ini hanya bisa bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
Setelah istirahat, makan, dan mandi menyegarkan diri, kami berangkat menuju Masjid Al Haram menggunakan bis yang selalu siap mengantar jamaah yang ingin pergi ke Haram d depan hotel. Waktu tunggu di dalam bis paling 10 – 15 menit saja dan selalu ada minimal 2 bis milik travel yang siap menanti di depan hotel dan di terminal dekat masjid untuk mengangkut jamaah dari Milli Gorus. Hanya harus dipastikan mengenakan name tag yang diberikan travel untuk dapat naik ke dalam bis tersebut. Hari itu juga dilakukan tawaf qudum dan umroh (lupa bilang kalau kami Haji Tamattu, jadi melakukan umroh dulu baru haji dan membayar dam hadyu). Dam hadyu sendiri bukan denda pelanggaran tetapi bagian dari haji tamattu. Dinamakan dam karena mengalirkan darah (dam berasal dari kata darah) alias menyembelih hewan.
Setelah selesai umroh, kami tinggal menunggu bermulanya ritual haji. Kami datang pada tanggal 1 Dzulhijjah sehingga ada waktu beberapa hari sebelum ritual haji dimulai. Yang kami lakukan selama menunggu adalah sholat 5 waktu di Masjidil Harom, mengisi waktu dengan banyak membaca Al Quran, dan jika memungkinkan melakukan tawaf. Daerah sekitar masjid masih dipenuhi dengan crane-crane yang sedang mengerjakan konstruksi, tidak heran kalau quota haji terpaksa harus dikurangi karena memang tempat di daerah Masjidil Harom berkurang. Beberapa hal yang baru tentang Masjidil Harom adalah sekarang lebih tertib, jadi jangan harap bisa berwudhu di tempat air zamzam, berwudhu harus keluar masjid dulu. Selain itu askar sedapat mungkin memisahkan shaf ikhwan dan akhwat kecuali di daerah atas (yang tak beratap) dan di sekitar tempat thawaf masih sering bercampur. Jika memasuki Masjidil Harom 30 menit sebelum adzan, maka ikhwan dan akhwat harus memasuki masjid melalui pintu masing2 (ladies gate dan gentleman gate).
Karena hotel yang jauh dari Haram, biasanya kami berangkat sebelum shubuh dan pulang dulu setelah dhuha. Kemudian kembali lagi ke masjid sebelum zhuhur dan baru kembali ke hotel setelah isya. Hanya saja, pemerintah Saudi tiba-tiba mengeluarkan peraturan agar bis besar tidak boleh memasuki lingkungan Masjidil Haram sejak tanggal 5 Dzulhijjah. Travel telah berusaha menggantinya dengan minibus yang berjalan lancar hanya pada tanggal 5. Mulai tanggal 6 Dzulhijjah, operasional minibus ini mulai tidak amanah. Mereka mencabut atribut travel dari minibus mereka dan mengajak kami naik ke minibus tersebut dengan menarik bayaran per orang seperti taksi. Taksi pun dari jam ke jam semakin mahal, dari yang tadinya hanya 20 real dari masjid ke hotel meningkat perlahan setiap jamnya dari 50, 100, sampai 200 real terutama jika diantara penumpang ada perempuan. Suami dan saya pernah diminta 500 real baru boleh turun padahal deal awal 200 real saja. Akhirnya pada tanggal 7, para wanita mengalah tidak lagi berangkat ke Masjidil Haram dan hanya mengikuti sholat jamaah yang diadakan di mushola hotel yang luas.
Sebelum berangkat haji, kami telah mengetahui rencana perjalanan haji kami tidak akan melakukan tarwiyah melainkan langsung ke Arofah, dan memilih melaksanakan nafar awal. Sejak awal pula kami berazam untuk pergi tarwiyah jika memungkinkan (dan diizinkan oleh muthowif) meskipun kami harus berjalan untuk itu. Mendekat ke pelaksanaan ritual, kami beranikan bertanya kepada muthowif yang orang Indonesia mengenai kemungkinan kami untuk bertanazul (memisahkan diri dari rombongan) agar dapat menginap di Mina pada hari tarwiyah tanggal 8 Dzulhijjah (dan melakukan nafar tsani). Muthowif kami tidak berani melarang tetapi izin tidak di tangannya. Kami disuruh langsung bertanya kepada pimpinan rombongan yang orang Turki. Saat itu yang terngiang di telinga saya adalah ceramah ust Muzakkir pada pelepasan haji 2011, bahwasanya bila kita memiliki keinginan yang kuat, biasanya Allah memberi jalan. Kami tidak juga dapat berjumpa dengan pimpinan rombongan sampai tgl 7 Dzulhijjah di mana memang ada pertemuan untuk membahas tentang Hari Arafah.
Kami mengikuti pertemuan tersebut meski tidak mengerti setitik pun apa yang dibicarakan hahaha. Tapi di awal mereka sudah bilang, seusai penjelasan ini akan diikuti dengan penjelasan bahasa Belanda bagi yang memerlukan. Dengan sabar kami tunggu untuk mendengar penjelasan bahasa Belanda. Ketika dijelaskan dalam bhs Belanda, muthowif kami sesekali menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bila kami tidak mengerti. Dijelaskan bahwa rombongan travel akan berangkat langsung ke Arofah pada tanggal 8 Dzulhijjah, namun jamnya tidak dapat dipastikan. Hanya saja setiap orang harus sudah siap pada pukul 10 pagi. Kemudian dijelaskan juga tentang mabit di mana dan rencana untuk nafar awal.
Mas kemudian bertanya tentang kemungkinan menginap di Mina sebelum ke Arofah dan nafar tsani. Ternyata masya Allah, untuk menginap di hari tarwiyah ini malah bagi yang muda-muda sangat dianjurkan untuk melaksanakannya. Hanya saja tidak naik bis, tapi berjalan kaki. Untuk kenyamanan, maka yang menginap dulu di Mina sebelum hari Arofah pergi ba’da shubuh. Alhamdulillaah, kami pergi bersama barisan muda Turki (ada juga yang sudah tua terutama dari Maroko yang mengikuti madzhab Hambali dimana tarwiyah diwajibkan bagi mereka). Dari hotel ke jamarot hanya 2 km, tetapi tenda kami di Mina ada di ujung Mina di bawah tulisan Mina Ends Here atau di kawasan Mina extension (Mina Jadiid) sehingga perlu berjalan sekitar 5 km lagi dari jamarot. Total perjalanan hingga sampai di tenda dengan kecepatan jalan yang biasa saja sekitar 1,5 jam.
Setelah mabit di Mina, ba’da shubuh kami melanjutkan perjalanan ke Arofah untuk wuquf dengan berjalan kaki. Pengalaman berjalan kaki menuju Arofah adalah salah satu yang paling mengesankan selama menunaikan ibadah haji. Perjalanan panjang di bawah terik matahari yang perlahan tapi pasti mulai menyengat dengan kecepatan tinggi (orang-orang Turki itu luar biasa kuatnya, kita minum sebentar saja sudah terengah-engah mengejar rombongan) cukup menguras tenaga. Tapi bukan itu yang terpikirkan saat itu melainkan keadaan saat itu. Menyaksikan manusia-manusia bergerombol dari berbagai arah kebanyakan dalam pakaian putih ihrom atau hitam bagi wanita, berjalan menuju satu tujuan, padang Arofah… Saat itu panas menyengat, matahari masih jauh dari jangkauan, payung masih bisa kita kenakan; dapat dibayangkan di yaumil Mahsyar nanti saat matahari sejengkal saja dari kepala kita dan manusia dari seluruh zaman berkumpul di padang Mahsyar :(.
Perjalanan ke Arofah sejauh 16 km ditempuh dalam waktu 4,5 jam. Kami tiba di tenda untuk wuquf di Arofah sebelum Zhuhur. Zhuhur kami lakukan berjamaah sekaligus Ashar. Selanjutnya jamaah memanfaatkan waktu paling mustajab dalam setahun ini untuk berdoa, membaca Al Quran, berdzikir dan juga mendengar khutbah Arofah (dalam bahasa Turki untuk tenda kami). Seusai khutbah Arofah sekitar ba’da Ashar, teman-teman Turki sepertinya menganggap sudah selesai karena mereka langsung bersalam-salaman. Kami sendiri orang-orang Indonesia melanjutkan berdzikir dan berdoa hingga Maghrib tiba. Ba’da Maghrib kami bersiap menunggu dijemput bis untuk mabit di Muzdalifah. Alhamdulillah tidak lama menunggu dan tidak ada macet, sehingga sebelum jam 9 kami telah berada di Muzdalifah, menunaikan sholat Isya dan Maghrib berjamaah kemudian istirahat.
Ba’da shubuh kami semua berjalan kembali ke tenda di Mina. Di sana kami menunggu hingga waktu Dhuha kemudian berangkat ke Jamarot untuk melontar jumroh Aqobah. Pemerintah Saudi tampaknya sudah semakin baik dalam menangani jamaahnya. Jamarot sendiri sekarang dibuat 4 tingkat. Perjalanan menuju jamarot dibuat panjang dengan jalan yang besar dan luas sehingga jalan dipenuhi jamaah tetapi pada saat melontar yang hanya sebentar tidak perlu sampai berdesakan, alhamdulillah. Bahkan ketika kami melontar di waktu yang paling afdhol pun padatnya masih boleh tahan lah kalau orang Malaysia bilang.
Seusai melontar jumroh Aqobah kami kembali ke hotel untuk tahalul awal ditandai dengan mencukur rambut karena kami telah memercayakan penyembelihan hadyu kepada yang bertanggung jawab. Kami kemudian melakukan aktivitas normal di hotel. Menjelang Maghrib kami semua kembali ke jamarot di Mina untuk mabit. Karena hotel yang dekat dengan jamarot sementara tenda Mina jauh, mayoritas jamaah memang tidak menginap di tenda tetapi hanya datang menjelang Maghrib dan duduk berdiam di sekitar jamarot sampai pukul 12 malam untuk kemudian kembali ke hotel meski harus sabar-sabar diusir-usir terus sama askar yang menertibkan kawasan tersebut. Namun demikian ada juga trotoar jalan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mabit sehingga tidak mengalami pengusiran. Mas dan saya tetap bertahan di sekitar jamarot hingga subuh, ba’da subuh barulah kami kembali ke hotel.
Selanjutnya seperti biasa kami kembali ke jamarot untuk melontar 3 jumroh ba’da Zhuhur (waktu paling afdhol untuk melontar). Mas mulai sering mimisan hari ini, diduga karena saat perjalanan ke Arofah kurang minum dan tidak melindungi kepala sama sekali. Akhirnya beliau terpaksa menunda melontar jumroh sampai ba’da ashar yang dilanjutkan dengan kembali mabit di dekat jamarot. Saya menyaksikan saat ba’da ashar melontar jumroh memang tidak sepadat ba’da zhuhur tetapi bahkan ba’da zhuhur pun kepadatan masih dapat ditoleransi (mungkin karena pengurangan quota juga ya sehingga Mina menjadi tidak begitu padat).
Saat mabit di pinggir-pinggir jalan di area jamarot ini kami banyak berjumpa dengan orang-orang Indonesia yang memisahkan diri dari rombongannya (eh, ada yang 1 kloter tanazul itu termasuk memisahkan diri ga sih?). Ketika kami bertanya kenapa mereka tidak menginap di Mina, ternyata alasannya karena mereka kurang sreg dengan Mina yang daerah perluasan atau Mina jadid. Memang tenda Mina untuk jamaah haji Indonesia, Turki, Eropa, Amerika dan Australia berada di kawasan perluasan Mina. Maksudnya, di zaman Rasulullah, daerah tersebut bukan termasuk Mina. Untuk menampung jamaah haji yang dari tahun ke tahun semakin banyak, pemerintah Saudi meluaskan daerah tenda Mina hingga ke dekat Muzdalifah (tentunya sudah dengan pertimbangan ulama-ulama juga).
Subuh setelah menyelesaikan mabit, mas dan saya melakukan tawaf ifadhoh berdua saja karena kami akan melakukan nafar tsani sementara rombongan melakukan nafar awal dan akan melakukan tawaf ifadhoh pada saat kami kembali mabit untuk nafar tsani.
Malam ketika kami mabit untuk nafar tsani, Mina sudah mulai lengang. Bahkan kami berkesempatan untuk sholat Maghrib, sholat Isya, dan menginap di Masjid Al Khoyf dekat jamarot yang biasanya penuh luar biasa hingga sholat pun terhimpit-himpit. Malam nafar tsani ini masjid tetap penuh tetapi masih bisa menampung jamaah. Dini hari menjelang subuh, mas mulai mimisan tiada henti sampai 1,5 jam. Alhamdulillah dekat dengan Masjid Al Khoyf ini ada Outpatient Clinic. Kami segera pergi ke sana. Dengan bahasa isyarat dan dipingpong sana sini karena kesulitan komunikasi, akhirnya sampai juga di dokter THT. Hidung mas disumbat dengan perban yang telah dilumuri obat dan baru boleh dibuka setelah 24 jam. Dikasih obat juga berupa parasetamol dan obat tetes jika perban penyumbat sudah dibuka untuk melembutkan pembuluh darah di daerah hidung yang pecah terus. Karena kondisi Mas yang terus-terusan mimisan, kami memutuskan untuk melontar jumroh terahir pada waktu jawaz (waktu yang diizinkan) yaitu langsung setelah sholat subuh. Selesai sholat kami kembali ke hotel, maka selesailah sudah rangkaian ritual haji.
Hari-hari selanjutnya kami tinggal menunggu waktu ke Madinah dan kembali kepada aktivitas sholat 5 waktu di Masjidil Haram serta mengisi waktu dengan banyak membaca Quran dan berdoa. Selain itu juga kami berkesempatan mengunjungi Jabal Nur, Jabal Rahmah, Gua Tsur (dari jauh), dan Hudaibiyah. Seharusnya kami berangkat ke Madinah pada tanggal 21 Oktober, tapi apa mau dikata ternyata ada masalah dengan hotel di Madinah sehingga keberangkatan ditunda paling lambat tgl 26 Oktober. Namun demikian, pada tgl 25 pukul 14.30 usai sholat Jumat kami diberi tahu bahwa malam pukul 8 kami akan berangkat ke Madinah. Pukul 15.00 kami telah siap berangkat ke Masjidil Harom untuk tawaf wadha. Luar biasa perubahan waktu yang sedemikian cepat pun teman-teman Turki kami menyikapinya dengan cepat. Kami orang Indonesia ini yang agak keteteran karena belum beres ngepak-ngepak hahaha… Alhamdulillah tapi pada pukul 19.00 semua koper telah siap diangkut oleh truk dan pukul 20.00 kami berangkat menuju Madinah.
Tiba di Madinah dini hari menjelang shubuh. Di Madinah, hotel dekat sekali dengan Masjid Nabawi, hanya sekitar 200 m sehingga tidak ada kesulitan untuk pergi ke sana. Aktivitas di Madinah selain sholat 5 waktu di Masjid Nabawi, kami juga mengunjungi tempat-tempat yang sarat sejarah di sana seperti Masjid Qiblatayn, Masjid Quba, Bukit Uhud, dan masjid-masjid sekitar Masjid Nabawi. Tidak lupa juga belanja untuk oleh-oleh :).
Bagi kaum perempuan, kunjungan ke Raudhoh dibatasi hanya ba’da Shubuh dan ba’da Isya (informasi lain saya baca-baca di internet katanya sekarang ba’da Ashar pun dibuka, tetapi saya tidak mencoba). Untuk mengunjungi raudhoh, cukup pergi ke pintu 25 setelah sholat Isya atau setelah sholat Shubuh. Nanti di sana akan ada petugas (askar) perempuan yang mengatur agar kita duduk per negara dan memasuki raudhah berkelompok sesuai negaranya. Saya pertama kali berangkat ke sana bersama rombongan, jadi bersama teman-teman Turki. Di pintu sebenarnya dicegat askar untuk menuju kelompok Melayu karena wajah kami yang melayu sekali. Tapi kami menunjukkan name tag kami yang dari travel turki sehingga kami dipersilakan mengikut rombongan travel kami duduk di wilayah turki. Masih dicegat lagi sebelum duduk oleh pemimpin turki karena kami bukan orang turki, tapi lagi2 kami tunjukkan name tag dan beliau meminta maaf (dalam bahasa Turki) serta menyilakan duduk. Kami menunggu giliran untuk masuk ke raudhah sambil mendengar ceramah (dalam bahasa Turki). Orang-orang Turki ini tertib sekali menunggu dan mengikuti arahan pemimpinnya sehingga sampai di Raudhah. Di lain hari saya pergi sendiri, dan karena wajah Melayu saya tentunya askar menyuruh saya masuk ke kelompok Melayu. Saya duduk bersama kelompok Melayu dan merasakan bedanya hehehe… Tidak ada petugas haji Indonesia yang mengatur (di bagian depan ya, kalau sudah dekat sekali ke raudhoh sih ada), ibu-ibu juga susah sekali diatur, liat kelompok lain dipersilakan untuk masuk, mereka ingin ikut, sampai-sampai askar kewalahan menahan :). Saat di raudhoh pun berdesakan sehingga sulit untuk dapat menunaikan sholat. Mungkin ini salah satu PR untuk petugas haji Indonesia.
Tak terasa waktu kami di Madinah telah habis. Telah sampai waktunya kembali ke rumah. Kami berangkat dari bandara Madinah, kembali ke Belanda yang dingin menggigit setelah bertahan dalam suhu di atas 40 derajat Celcius. Alhamdulillah disambut hangat di Schipol, bahkan bandara Schipol pun menyiapkan spanduk menyambut jamaah haji dan menyediakan mint tea serta baklava untuk para jamaah yang baru datang dan para penjemput. Semoga pembinaan bulan Dzulhijjah tersebut membekas ke dalam kehidupan kami selanjutnya dan semoga Allah menganugerahi kami haji yang mabrur.
Untuk teman-teman yang hendak berangkat haji, beberapa hal yang kami rasa penting untuk diketahui sebagai bekal adalah persiapan fisik, persiapan mental dan ruh, dan persiapan ilmu. Ibadah haji adalah ibadah fisik yang memerlukan kekuatan fisik dan kesehatan badan untuk bisa dinikmati sepenuh jiwa. Olahraga yang teratur tampaknya akan sangat membantu. Saya sendiri bukan orang yang rajin berolahraga, tapi kebetulan saya hidup di negeri Belanda di mana kaki adalah alat berjalan yang utama selain sepeda. Setiap hari saya harus berjalan untuk antar jemput sekolah saja 6 km (jalan kaki atau naik sepeda), belum kalau harus pergi sana sini yang tentunya kalau tidak hujan saya mengendarai sepeda (hujan aja masih sepedahan kalau waktu mepet tinimbang harus nunggu bis yang melambatkan perjalanan).
Dan walaupun haji adalah ibadah fisik yang sudah sah walaupun pelakuya tidak hafal doa apa pun karena hanya tinggal mengikuti saja pemimpin rombongan, sungguh penghayatan itu akan beda saat kita tau doa yang cocok untuk dilafalkan. Paling tidak, hafalkan doa-doa penting (sambil mengetahui artinya) seperti doa memasuki makkah, doa masuk dan keluar masjid, doa melihat ka’bah, doa memulai tawaf, doa saat sai menuju bukit safa dan marwa dan doa ketika sampai di safa atau marwa, doa minum air zamzam, dan doa-doa penting lainnya. Selain itu juga siapkan doa-doa yang ingin dipanjatkan terutama saat paling mustajab dalam setahun yaitu hari Arafah karena panjangnya waktu paling mustajab tersebut jangan sampai ada doa yang terlewat.
Selain itu, untuk merasakan ruh ibadah, persiapkan juga pengetahuan tentang sejarah Mekkah Madinah, membaca tafsir surat Al Hajj, membaca-baca tentang filosofi haji. Hal ini membantu kita menghayati perjalanan ritual kita, menikmati pengalaman spiritual, dan memotivasi kita untuk melakukan yang terbaik selama menunaikan ibadah haji.
Terakhir, seperti halnya hidup yang penuh kejutan, meski kita sudah siapkan mental, fisik, dan juga jadwal, selalu ada saja yang tak terduga yang terjadi. Demikian juga dengan ibadah haji, selalu ada hal tak disangka yang datang dan menguji kesabaran kita. Selama kita ingat bahwa apa pun yang terjadi adalah ladang pahala bagi kita asalkan kita menyikapinya dengan benar, kita insya Allah akan lapang dada dan legawa menjalaninya :).
Ceritanya kami mau ngajak ibu jalan-jalan nih. Selama di Belanda 6 minggu, 3 minggu lebih beliau ditinggal bersama anak-anak aja karena kami pergi haji. Trus selama 3 minggu kami ada, disempetin jalan di daerah Belanda kalau week-end. Ibu sendiri sih bukan yang ngoyo pengen jalan. Buat Ibu, ketemu cucu-cucu aja sudah puas dan bahagia. Tapi kalau dah sampe sini tentunya mending sekalian aja liat-liat kehidupan di sini :-).
Untuk yang rada jauh dari Belanda akhirnya milih ke Paris. Pertimbangannya dekat dan banyak obyek yang bisa dilihat. Meski kami udah pernah ke sana, ga bosen juga sama Paris :-).
Kami berangkat naik mobil pagi, sempet mampir sarapan di salah satu rest area di Belgia yang lagi dingin banget. Sarapan bekel dari rumah aja sambil ngeteh dan ngopi anget mengusir dingin, sementara anak-anak sih hepi maen di playground ga berasa dingin. Pura-pura buka restoran ngirimin sarapan kita ke meja hehehe…
Sampe Paris agak siang, muter sampe 3 kali sebelum akhirnya bisa masuk ke tempat parkir apartemen kita di Fraser Suite Harmoni, La Defense. Soalnya agak membingungkan posisinya.
Seperti biasa milih yang deket stasiun metro supaya gampang jalan sana sini ga pake mobil.
Abis maghrib kami pergi ke Eiffel yang selalu tampak lebih cantik di malam hari. Pengen bikin foto yang bagus, tapi ternyata nasib berkata lain hehehe. Itu kamera andalan entah mengapa tetiba aja mati total. Akhirnya memberdayakan kamera poket dan kamera telepon seluler deh. Dari Eiffel kami melanjutkan menyusur Champ Elysse, ngeliat Arc de Triomphe dan menikmati jajaran pertokoan elit Paris ini termasuk diantaranya mampir ke Galeri Mercedes Benz.
Sebenernya besoknya ingin pergi pagi karena pengen masuk Museum Louvre yang konon katanya sekarang bagian Islamnya sudah selesai direnovasi. Tapi anak-anak betah banget maen di apartemen dan Ibu juga kayanya menikmati istirahatnya. Soalnya dingin sih, bikin betah selimutan. Bisa masak pula jadi bisa sarapan anget-anget dan menikmati makanan hangat, tambah males deh.
Akhirnya baru keluar setelah pas waktu check out. Kita langsung pergi ke Sacre Coeur, mau liat Paris dari atas bukit ceritanya. Yang cantik justru Sacre Coeur-nya. Dan di jalan menuju Sacre Coeur ini banyak jualan souvenir aneka rupa dengan harga yang jauh lebih murah dibanding di area Eiffel, Champ Elysse, dan daerah-daerah tujuan turis lainnya. Jadi kalau mau beli souvenir disarankan di sini aja.
Setelah puas liat Paris dari puncak bukit, makan bekal makan siang di taman, dan belanja souvenir, melanjutkan sholat di Masjid Raya Paris. Masjid besar yang dalam sejarahnya menggambarkan keindahan toleransi Islam terhadap agama lain. Rekam sejarah mencatatkan pada masa Nazi menguasai Paris, tak ada Yahudi yang selamat dari penangkapan. Dan umat Yahudi ternyata malah menemukan tempat persembunyian paling aman di kompleks masjid ini.
Kompleks masjid yang didirikan dari tahun 1922-1926 ini terbagi menjadi 3 bagian utama; bagian religius (grand patio, ruang sholat, minaret yang diperuntukkan khusus bagi kaum muslim yang akan menunuaikan sholat dan tertutup untuk turis), bagian pendidikan (sekolah Islam dan perpustakaan) serta bagian komersial (cafe).
Gaya arsitekturnya Hispano-Moorish dengan hiasan berupa elemen-elemen yang terinspirasi dari Al Hambra. Cantik tanpa meninggalkan kesan syahdu dan khusyu.
Normandia adalah wilayah di bagian utara Prancis berbatasan dengan Selat Inggris. Seluruh wilayahnya terlihat cantik dan bikin betah foto-foto. Kami ke sana di akhir musim panas, memanfaatkan cuti mas yang sedikit dan diambil karena hari kejepit setelah cuti untuk Idul Fitri.
Kota-kota pinggir pantai yang cantik jadi sasaran kunjungan kami kali ini. Dimulai dari Le Mont St Michel, sebuah pulau kecil berbatu di tengah pantai, kalau bahasa Inggrisnya rocky tidal island, kalo bahasa Indonesianya apa ya? Konon katanya dulu di masa prasejarah, pulau ini ada di atas lahan kering. Kemudian karena fenomena es yang mencair, akhirnya jadi di tengah pantai gitu. Pulaunya kecil tapi padat banget (baik oleh bangunan maupun oleh para turis).
Dari Le Mont St Michel, kita melanjutkan lewat ke Trouveille sur Mer, terus sempet mampir ke Hon Fleur sebelum nginep di Le Havre. Semuanya kota-kota pantai yang cantik. Terakhir tentunya ga melewatkan mampir di Pantai Etretat yang indah, sumber inspirasi sang pelukis Claude Monet.
Selama perjalanan, kami berusaha untuk sholat di masjid, nyengaja aja nyari masjid sekalian pengen tau masjid-masjid di daerah Normandia. Alhamdulillaah sempat sholat di Masjid Raya Caen dan Masjid Le Bien Faiteurs Amien (Masjid Al Muhsinin). Yang di Caen itu bukan cuma masjidnya yang besar tapi juga lahan parkirnya luas. Sedangkan yang di Amien parkiran di pinggir jalan tersedia. Kebetulan dua kali ke Masjid pas selalu waktu sholat Ashar, dan selalu bergetar melihat orang bergerombol memasuki masjid di waktu sholat terutama karena berada di negara yang minoritas.
Kurikulum yang diterapkan di sekolah Raisha-Dinda adalah International Primary Curriculum (IPC). Ga kaya IB atau Cambridge, belum banyak yang tau tentang kurikulum ini. IPC ini kurikulum yang komprehensif, tematik dan kreatif ditujukan untuk anak usia 4 – 11 tahun. Proses pembelajarannya jelas dengan tujuan pembelajaran yang spesifik disesuaikan dengan kebutuhan internasional sekaligus personal.
Sebenernya bukan mau cerita kurikulum karena bukan ahlinya. Tapi berkaitan dengan kurikulum tersebut, minggu lalu sekolah sempat menjadikan The Hague sebagai topik IPC. Dan ternyata yang jadi belajar bukan cuman anak-anak, tapi juga ibunya :-). Baru sadar, selama setaun di Den Haag, kita pergi ke Centrum terutamanya cuman buat beli tahu-tempe dan salam sereh. Padahal waktu saya kebagian jaga kelas Raisha ekskursi… weits banyak banget bangunan cantik dan bersejarah di Centrum. Kalo ga suka sejarah, paling tidak itu bangunan cantik buat difoto.
Selama setaun di sini, baru deh terpikir untuk lebih memerhatikan kota tempat kami tinggal. Baru nyadar kalau Den Haag itu kota yang “traditionally Dutch”; tapi berbeda dengan Amsterdam, Den Haag lebih kalem dan lebih hijau. Taman dan hutan kota ada di mana-mana, buat pecinta jalan kaki semacam saya sungguh menyenangkan ada di kota seperti ini. Sepanjang jalan menuju sekolah Raisha, ada banyak taman dan hutan dengan kanal-kanal yang bikin kota tambah cantik, padahal dari rumah ke sekolah cuma 1,5 km aja. Trus Den Haag itu masih dikategorikan city living, ga ndeso-ndeso amat (which is saya ternyata anak kota yang lebih suka ramai daripada sepi), tapi ga penuh sesak dan bikin pusing kaya Amsterdam.
Selain taman dan hutan kota yang sangat menyenangkan buat tempat main anak-anak, Den Haag juga punya pantai Scheveningen yang terkenal itu di mana anak-anak bisa bersukaria main pasir dan main air (kalo lagi ga dingin). Den Haag sangat menyenangkan buat “outdoor children” semacam anak-anak kami.
Dengan mengetepikan cuacanya yang luarbiasa bikin mabuk kepayang; kadang bahagia liat matahari yang terang lebih sering sendu dan basah dengan mendung dan hujan; Den Haag bener-bener kota yang sederhana dan menyenangkan untuk tinggal. Untuk muslim, masjid-masjid banyak berdiri dan terlihat dengan jelas. Komunitas Indonesia pun ada mesjid sendiri yang lebih memudahkan untuk belajar agama karena menggunakan bahasa Indonesia.
Selain itu buat orang Indonesia seperti kami, makanan di Den Haag juga ga jadi masalah. Ada banyak warung/restoran Indonesia, meski untuk muslim seperti kami tentunya tetap harus periksa kehalalannya. Toko Asia pun menyediakan lengkap keperluan bumbu dapur sampai yang paling aneh semacam kapulaga dan keluwak sekalipun. Anyway busway, jadi teringat ya… Di Indonesia, kita mengenal Belanda hanya sebagai penjajah yang menguasai negara kita lebih dari 350 tahun, tidak terasa lagi sisa-sisa ikatan kita dengan Belanda kecuali dari beberapa kosa katanya yang diserap bahasa Indonesia seperti kantor dan apotek. Tapi ketika sampai di Belanda, terasa banget loh ikatan antara bangsa Indonesia dengan Belanda. Restoran-restoran Belanda banyak menyediakan menu Indonesia dengan nama yang tidak berubah; Babi Ketjap, Nasi Goreng, Bakmie Goreng, Sate Ajam, dan sebagainya. Di supermarket-supermarket biasa, tahu dan tempe dengan mudah ditemukan. Demikian pula bumbu instan untuk bakmi goreng, sate, ayam panggang, bahkan sambal djeroek. Tak lupa jajanan khas Indonesia semacam keroepoek, katjang pedis, katjang bawang. Semuanya produk asli Belanda. Di Den Haag setiap tahun KBRI menggelar Pasar Malam Indonesia, sebuah festival tentang Indonesia yang berlangsung selama 5 hari, isinya bazaar makanan, pameran dan penjualan art & craft Indonesia, dan pertunjukkan seni dan budaya Indonesia. Pengunjungnya ternyata banyak sekali opa dan oma orang Belanda yang bisa tahan duduk berjam-jam nonton pertunjukan. Selain KBRI, pihak swasta di sini juga menggelar Tongtong Fair yang serupa dengan Pasar Malam Indonesia tetapi lebih besar dan lebih lama penyelenggaraannya, dan meskipun tiket masuknya mahal (16 euro per orang) tetap saja penuh sesak.
Buat para turis yang ingin mengunjungi Den Haag…. Nomer 1 yang harus dilakukan adalah: sewa sepeda. Mulai dari Centrum dengan Binnenhof tempat Konferensi Meja Bundar, istana tempat raja bekerja, dan istana perdamaian (Peace Palace).Sempatkan juga ke Madurodam, kalau ada anak-anak kecil pasti senang sekali mereka di sini melihat miniatur Belanda. Pencinta natur bisa pergi ke Pantai Scheveningen atau bersepeda di hutan Haagsche Bos sambil ngintip istana kediaman sang Ratu (eh sekarang dah resign deng Ratu Beatrix), jangan lupa kunjungi juga taman-taman cantik Clingendael dan Rosemary. Selamat menikmati Den Haag 😉
Kunjungan ke Zurich ini lanjutan dari Legoland. Memang rencananya rute perjalanan dari Gunzburg menuju Den Haag ini lewat Swiss. Milih nginep di Zurich karena dekat dengan Luzern yang cantik.
Rencana dari Legoland sebelum ke hotel di Zurich kita mampir di air terjun Rhine Falls, air terjun terbesar di Eropa. Tapi cuaca ga mendukung, salju yang turun bikin perjalanan lambat sedikit dan akhirnya ga keburu untuk mampir karena udah lewat jam 5.
Kita akhirnya langsung menuju pusat kota Zurich.
Jalanan di Swiss ini tantangan tersendiri buat para supir. Banyak terowongan dan tetiba kita harus pindah jalur sekeluarnya dari terowongan bikin pening. Padahal salah jalur adalah tilang hehehe. Kita akhirnya kena jepret tuh pas pindah jalur demi menuju ke arah yang benar dari asalnya salah (padahal di belakang kosong tapi memang garis jalur tak terputus). Dua bulan kemudian surat permintaan bayar tilangnya sampe di rumah, lumayan 100 CHF buat pindah jalur di garis tak terputus.
Sampe Zurich city center malem, hujan rintik dan dingin. Perjuangan banget nih sahabat-sahabat dari Oman, jalan-jalan dalam keadaan dingin. Tapi Zurich di malam hari cantik banget, jadi worth to see deh. Udah puas jalan-jalan di kota, baru kita ke hotel Novotel deket bandara Zurich.
Besok paginya salju turun lagi. Setelah sarapan melanjutkan menjelajah Luzern. Luzern ini sebenarnya kota yang cantik banget, hanya saja cuaca sedang berkabut jadi berasa di negeri Harry Potter. Akhirnya kita cuma cruising di danau keliling kota aja menikmati kota yang dilingkung pegunungan yang cantik.
Ceritanya ini mengisi libur paskah pas Radit dan Endra dateng dari Oman. Jadi kami ngerencanain perjalanan yang agak jauh, supaya yang dari Oman bisa kebagian beberapa tempat dan negara.
Tujuan pertamanya nyenengin anak-anak dulu di Legoland Deutschland di kota Gunzburg.
Dari Den Haag berangkat “mruput”, dini hari jam 3. Nyamperin Armezan dan Favian dulu di Woerden yang mau ikutan perjumpaan di Legoland. Sekitar jam 4 kami berangkat dari Woerden. Di jalan sempet istirahat dua kali, sholat subuh di bawah rinai hujan di salah satu tempat istirahat, dilanjutkan ngopi menghangatkan badan. Sekali lagi buat sarapan manis, duduk-duduk ngelurusin kaki setelah perjalanan 3 jam.
Emang sengaja kami berangkat subuh banget karena jalan di Jerman itu terkenal dengan banyak area yang sedang membangun maupun memperbaiki jalannya, jadi makin siang makin macet. Bener aja, sekitar jam 10 mulai deh perjalanan tersendat karena mulai macet. Alhamdulillaah sampai dengan selamat di Legoland sekitar jam 11. Anak-anak langsung main sambil nunggu rombongan Oman yang baru akan datang belakangan karena berangkat dari Paris jam 5 pagi dan di jalan banyak berhenti menikmati pemandangan.
Legoland ini emang bener-bener taman bermain buat anak-anak seumuran SD, jadi mereka seneng banget di sana. Diperhatiin, di sini emang isinya anak-anak SD bersama ortunya, ga kaya beberapa theme park lain yang juga diramaikan oleh ABG. Jadinya buat anak-anak kami yang masih imut-imut, emang sangat menyenangkan. Semuanya di-desain buat mereka, semua bisa dicoba. Ibu-bapaknya sih cukup terhibur nemenin anak-anak atau ngeliat miniatur bangunan dari lego yang mirip aslinya, keren banget, lebih keren lagi karena tersusun dari lego.
Sore menjelang maghrib (sampe lari-lari ke hotelnya supaya ga kelewat Ashar) kami berangkat ke hotel di Heidenheim, sekitar 20 menit dari Legoland naik mobil. Paket yang kami pilih dari kras.nl emang tiket 2 hari di Legoland dan nginep di hotel Best Western. Terhitung murah jadinya, apalagi hotelnya enak banget terutama buat kami yang lagi pengen ngumpul-ngumpul. Kamarnya gede banget trus ada dapur kecil terbuka.
Jadi malem kami, 3 keluarga, ngumpul di satu kamar. Makan nasi liwet dengan lauk perbekalan yang dibawa dari rumah. Anak-anak ga ada capenya ceria main bareng di kamar. Untungnya kamarnya luas.
Di sebelah hotel ada kastil Hellenstein, bapak-bapak nyempetin nengok ke sana yang ternyata kalau malem jadi terlihat spooky. Keterangan tentang kastil ini bisa dibaca di sini :-).
Besok paginya salju turun, yang jadi hiburan sendiri buat pasukan dari Oman. Sementara kita tarik selimut lagi liat putih-putih yang turun dari langit di awal musim semi, mereka foto-foto sambil main lempar salju.
Abis sarapan, sekitar jam 10 kami kembali ke Legoland, menjajal yang tersisa. Abis makan siang, sekitar jam 2 baru deh meninggalkan Legoland. Anak-anak gembira banget di sini, Raisha bilang sih theme park yang paling dia suka.