Thank you for your help, Teh

Sekitar 2 taun lalu, waktu lagi nyuapin Raisha di tengah acara keluarga, seorang sepupu bilang, “Kalo punya anak gampang makan itu anugrah banget deee,” sambil dia juga nyuapin anaknya.
Waktu itu saya mengiyakan, secara Raisha itu kadang2 susah makan. Meski kadang2 aja, tetep suka kepikiran kalo dia pas lagi ga mood mamam.

Sejak sekitar 6 bulan lalu, baru semakin terasa deh kalo punya anak gampang makan itu anugrah pisan. Soalnya Dinda ampun2 makannya… Hiks hiks, sampe kuatir dia kurang suplai. Abisan dari sejak awal makan, mulai dari bubur susu, meningkat ke tim saring, dan akhirnya tim kasar… ya ampun, susah banget masuknya. Kalo bisa masuk 4 sendok dengan mudah aja itu udah bikin ibunya rada tenang karena dah ada makanan padat yang masuk.
Segala menu udah dicoba, tetep aja susya. Bahkan, buah yang biasanya anak2 suka, Dinda mah ga mau juga. Setiap kali sendok mendekat ke mulut, pasti wajahnya segera dipalingkan ke sisi yang lain. Kalo telanjur di depan muka, sendoknya dia ajak berantem. Duh Dinda, Dinda, ga laper apa Nak…
Saat dapet bantuan nyuapin Dinda… hmmm, I really feel grateful 😀

Dua yang Indah2

Sebagai pencinta buku, dulu2 saya melalap berbagai buku tanpa banyak mikir. Apalagi jaman masih SMP-SMA, blom banyak beban dan deadline. Novel tebel yang menarik bisa selesai dalam satu hari. Menginjak masa kuliah, membaca mulai jadi lambat selesai krn sering kepotong; dah jamnya kuliah, ada rapat himpunan, harus belajar buat ujian, ada pembicaraan dan lain2. Tapi kayaknya tetep aja deh ga butuh waktu lama untuk menyelesaikan satu buku yang memang sudah saya niatkan untuk dibaca.
Selesai kuliah, waktu membaca juga ga pernah jadi masalah buat saya. Kecuali belakangan ini. Hampir 6 bulan kayaknya saya perlukan untuk menyelesaikan 1 buku yang sebenernya teramat ingin saya ketahui akhir ceritanya.

Seperti posting di blog 3 bulan yang lalu (what?? udah 3 bulan yang lalu ya terahir posting), saya memang susah menemukan waktu buat diri sendiri. Dulu suka baca kalo malam menjelang tidur, sekarang biasanya blm niat tidur udah ketiduran. Pagi meski udah bangun sepagi mungkin, tetep selalu gedabrutan nyelesein urusan domestik sebelum ternak teri (anter anak anter suami).
Jadi… saya berusaha menggunakan waktu luang diantara bangun dan ketiduran di malam hari itu buat baca. Saat jemput Raisha, kepagian 5-10 menit sementara Dinda tidur di car seat-nya, waktu anak2 masih pada tidur sore ketika saya sudah selesai masak dan bebenah (yang sangat jarang terjadi), saat sabtu-minggu anak2 dan bapaknya tidur siang bareng…, pokoknya setiap detik yang berharga dipake buat baca buku ini. No wonder tu buku jadi lecek buanget. Bukan ga cinta buku, tapi pepatah lecek tanda dibaca really works here…
Akhirnya, setelah perjuangan panjang menyempatkan waktu buat baca, selesai juga tu buku indah “The Kite Runner” karya pertamanya Khaled Hosseini.

The Kite Runner mengisahkan tentang dua anak laki-laki; Amir dan Hasan. Amir adalah pribadi yang bimbang dan ragu, kurang ksatria, dan kurang memiliki dasar moral yang baik meski dia sebenarnya anak yang baik, keras terhadap dirinya sendiri dan kuat kemauan belajar. Sementara Hasan lahir dari keluarga miskin yang terpinggirkan, kuat dan setia kawan, polos, jujur, dan penuh integritas. Kedua orang yang tumbuh bersama di saat kecil dengan pribadi yang sangat berbeda ini mempengaruhi hubungan antara keduanya dan juga menentukan jalur hidup masing-masing orang pada saat mereka dewasa. Khaled dengan pandai mengeksplorasi segi psikologis keduanya dan menghasilkan cerita yang luar biasa menarik dan unik.
Khaled piawai memilih kata-kata yang indah dan merangkainya menjadi narasi-deskripsi yang memukau. Perang Afghanistan yang menjadi latar cerita juga dideskripsikan dengan sangat baik oleh pengarang yang dalam kesehariannya adalah seorang dokter ini.
Sebagai novel pertamanya, The Kite Runner menurut saya luar biasa. Seru, indah, memukau…
Feels like you’ve read the best novel ever?
Wait until you read… A Thousand Splendid Suns 🙂

A Thousand Splendid Suns adalah novel kedua Khaled Hosseini. Washington Post menulis, ‘In case you’re wondering whether A Thousand Splendid Suns is as good as The Kite Runner, here’s the answer: No. It’s better’.
And I found out it’s not only a lip service. A Thousand Splendid Suns juga menggunakan Afghanistan sebagai tempat cerita mengalir dan kondisi sosial-budayanya sebagai latar. Mengisahkan dua wanita dengan jalan hidup sangat berbeda yang kemudian dipertemukan oleh takdir dalam suatu keadaan.
Alur cerita yang lebih kompleks, kemampuan Khaled yang lagi-lagi mengeksplorasi sisi psikologis para tokohnya dengan didukung oleh kemampuannya memilih dan mengolah kata, serta ketajamannya membuat deskripsi membuat novel ini jadi sangat memikat.
(Psssttt, kali ini saya menyelesaikannya dalam beberapa hari saja; soalnya Raisha udah libur demikian juga pengajian2 dah pada mulai libur).