Dimudahkan oleh Teknologi

Saya sering takjub dengan apa yang disebut teknologi. Betapa banyak kemudahan dan kenyamanan yang bisa diperoleh darinya. Tak usahlah menyebutkan teknologi canggih nan rumit seperti teknologi satelit dan ruang angkasa atau pun teknologi nuklir yang terus menuai kontroversi. Cukup teknologi-teknologi sederhana pun sudah membuat saya terpesona.

Dengan penemuan teknologi, terciptalah internet. Keajaiban yang menautkan saya dengan calon potensial pendamping hidup saya. E-mail dan Yahoo Messenger membuat saya bisa mengakrabi-nya tanpa harus menghabiskan banyak biaya untuk bertemu mengingat kami terpisah ratusan ribu kilometer saat itu. Memutuskan menikah dengannya adalah berkat pertolongan teknologi bernama internet.

Saat saya baru lulus kuliah dan jadi asisten peneliti pada sebuah proyek pengembangan energi baru, saya takjub dengan teknologi gas kromatografi. Bagaimana bisa hanya dengan memasukkan beberapa mikron cairan, hasil analisis kandungan cairan tersebut bisa langsung keluar dalam bentuk cetak. Menghindarkan dari pemborosan bahan kimia karena harus membuat sampel dalam kuantitas besar untuk menganalisis zat-zat di dalam sampel dengan berbagai metoda konvensional seperti titrasi ataupun gravimetri.

Ketika pekerjaan saya jadi servis engineer, lagi-lagi saya sering merasakan dimudahkan oleh alat analisis super canggih bernama DR-2000. Klien saya yang tidak sabaran sering meminta hasil analisis airnya seperti minta kopi instan. Langsung ada begitu diseduh. Bikin saya pusing kepala mencari jalan supaya orang laboratorium segera mengeluarkan hasil analisis. Bukan saja karena antrian panjang klien-klien yang menunggu sampel airnya dianalisis, tapi juga waktu analisis konvensional yang cukup lama. Titrasi kadang membutuhkan waktu panjang karena prosedur meminta untuk larutan sampel disimpan dulu selama beberapa jam sebelum bisa dititrasi, apalagi gravimetri. Belum lagi human error seperti kelebihan setetes karena meleng… hah, tambah lama. DR-2000 yang berbasis transmisi cahaya ini menyederhanakan masalah. Dengan akurasi yang menghampiri metode konvensional, hasil analisis bisa didapat kurang dari 1 jam dan bisa dilakukan sendiri, ga perlu nunggu orang lab.

Di tempat kerja berikutnya saya merasakan penyesalan yang mendalam saat memanfaatkan software HYSYS dan Pipesim. Masya Allah, ngitung neraca massa dan energi untuk suatu proses yang cukup panjang koq ya cuman butuh beberapa menit. Jadi ingat masa2 penyiksaan rancangan pabrik. Belum ngitung nih, baru nyari data aja udah abis, hmmm, 2 minggu??? Yah pokonya 4 minggu waktu yang diberikan untuk menyelesaikan neraca massa dan energi menggunakan cara manual dengan bantuan spreadsheet itu rasanya tidak cukup. Terengah2 kami mengerjakannya, ditunggu ampe jam 2 pagi pun sulit sekali mencapai “balance”. Andai kita boleh pake HYSYS waktu mengerjakan rancangan pabrik ya…

Belakangan ini saya juga masih saja merasakan kemudahan karena teknologi. Hmmm, teringat jaman SD…, bikin bolu kukus perlu waktu seharian. Seharian buat ngocok telur-nya doang. Tangan2 mungilku sampe pegel dan lecet ngocok telur sampai mengembang. Sekarang… mixer memudahkan segalanya. Beberapa menit saja cukup untuk membuat telur mengembang.

Sebelum punya blender, saya males banget masak2. Sayur asem,… duh males ngulek. Soto,… duh, bukannya itu teh harus diulek ya bumbunya. Akhirnya masak yang ga ada acara ulek2 bumbu. Sop lagi, semur lagi. Ato sayur bayem dan tumis kangkung. Bosen ga sih Mas? Engga ya Mas ya…* maksa dot com * nasi pecel, anyone??Setelah punya blender, makanan jadi bervariasi. Bisa menyediakan siomay bandung kesukaan mas * mas, kalo sepuluh potong sekali makan mah namanya kalap, bukan enak *, masak soto dan sayur asem juga jadi ga males lagi. Ga perlu juga nyari2 lagi bumbu pecel karangsari yang uenak itu * Hai Dhin, di Belanda gampang ya cari bumbu pecel karangsari, ga kaya dulu kita harus ke Hamburg dulu cuman mo beli bumbu pecel *. Sekarang, blender bisa menghaluskan kacang tanah goreng dan melembutkan bawang putih serta cabe. Sebentar saja pecel madiun kesukaan mas tersedia. Nyam nyam, nasi pecel, anyone???

Saatnya Berhenti

Kadang ada saat-saat tidak menyenangkan atau tidak diinginkan. Bt saat menjalaninya, pengen cepet selesai, tp tampaknya koq tak pernah berakhir. Saat seperti itu cuman satu yang bikin bertahan; harapan. Harapan bahwa semuanya akan berlalu, optimis bahwa segala sesuatu pasti berakhir.

Saya pernah ada dalam kondisi luar biasa bt, very low… Kalo ada hujan, rasanya pengen deh hujan itu melarutkan diri seperti air melarutkan garam. Satu setengah tahun berlalu, segala cara dicoba; berada di lingkungan temen2 baru, kumpul bocah ama temen2 tk 95 yang sekitar 4-5 taun ga lagi saya jalanin sejak bertemu seseorang yang menghabiskan sebagian besar waktu saya, pindah kost dan kontrakan (ampe 2 kali, dari jakarta ke cikarang, dari cikarang ke cikarang yang lain), kursus bahasa (ampe 2 juga, bahasa jepang dan bahasa prancis), jadi workaholic (pulang dari kantor jam 8 malem kalo lagi di office, ato menyibukkan diri dengan travelling jenguk client, kamis malam baru mendarat dari lampung, jumat pagi nungguin start-up pabrik di subang sampe dini hari sabtu, sabtu pagi ke bandung nengokin problem boiler di pabrik tekstil), ngebut2an di jalan (jangan dicontoh deh, dulu sih pake alasan sales ngejar target penjualan), sampe akhirnya pindah kerja. Ga ada satu pun yang nolong. Rasanya ga bisa keluar dari perasaan low, bt, sedih, hampa (tsaaah), dan rasa2 tak enak lainnya. Akhirnya ya itu dia… berharap aja ntar juga lewat. Hampir 2 taun akhirnya perasaan itu memang berakhir. Ga ada usaha khusus, tiba2 aja hilang. Berganti dengan keceriaan masa muda (kekekek, I was 27 at that time and almost all of my friends were 20; mexican, very cheerful and so lively. Sometimes I felt that I was on their age hahaha). Tampaknya memang sudah waktunya untuk berhenti bt dan sedih.

Saya pernah insomnia (bagian dari bt di atas hehehe). Setiap malem guling-guling di kasur. Berusaha keras tidur, mandi air anget, mimik susu anget, baca buku teks supaya ngantuk, apa pun yang orang bilang bikin cepet tidur. Tidak berhasil. Mata tetap terpicing sepanjang malam. Ada saat2 terlelap, saya pikir udah semalaman, ternyata baru 15 menit. Siang hari badan rasa ga enak, kerja ga konsentrasi, lemah lesu tak berdaya, gampang nangis dan marah. Tidur di kontrakan yang sepi dan panas, di rumah di bandung yang adem dan nikmat di bawah selimut tebal, nyobain berbagai hotel selama traveling karena tugas kantor…, tak ada satu pun yang bisa bikin badan ini terlelap untuk jangka waktu semalaman. Suatu hari, Lufthansa yang membawa saya terbang dari Singapur ke Frankfurt melelapkan saya. Tak lama setelah terbang dari Changi saya terlelap, dan terbangun saat sudah sampai di bandara Frankfurt. Siangnya sampai di Leipzig saya tidak merasakan jet lag, langsung beraktivitas sampai sore. Malamnya saya tidur lelap sampai pagi, begitu juga malam-malam berikutnya. Tampaknya malam2 panjang saya telah berakhir. Mungkin sudah saatnya untuk berhenti insomnia.

Saya dulu jadi obyek percobaan orang tua dan orang di sekitar. Percobaan menghentikan kebiasaan saya untuk ngemut jempol. Mulai dari butrowali, balsem, plester, semua dicoba dioleskan di jempol saya untuk menghilangkan kebiasaan buruk itu. AlhamduliLlah ga ada yang berhasil. Sampe akhirnya di usia saya yang ke 14 tahun, saya sendiri yang memutuskan sudah waktunya untuk berhenti ngemut jempol.

Jadi saya tak berdaya waktu sejak usia 2 bulan, jungkel2 ngempotRaisha sudah fasih ngemut jempol. Bapaknya udah coba segala daya buat menghentikan selagi dia bayi. Kalo jempolnya dicabut dari mulut, bisa sampe jungkel2 dia mempertahankannya. “Wah terancam sampe kelas 3 SMP kayak ibumu kamu, Nak,” keluh sang Bapak.
Beberapa waktu yang lalu saya coba pasang plester di jempolnya. Plester lucu warna-warni. Dia excited saat memakainya. Bahkan bilang, “Keyennn,” sambil ngacungin jempolnya. Tapi kalo dia udah mau ngemut jempolnya… jangan ditanya deh, pasti teriak-teriak marah, “BUA, BUA!” Buka maksudnya. Ga tahan denger teriakannya dan teringat masa kecil saya, akhirnya saya menyerah. Yasud, silakan nak, emang enak sih yaaa….
Tp sejak 4 minggu yang lalu, rasanya saya ga pernah lagi liat Raisha ngemut jempol. Moga2 berlanjut terus. Mungkin ini sudah saatnya dia berhenti ngemut jempol….