Alumni Merantau

Tulisan ini saya buat untuk Majalah3 edisi Reuni Akbar SMA3 Bandung 2016. Lama sekali saya ga nulis baik serius maupun santai. Blog saya sudah 2 tahun lebih tak saya isi ketika saya terlibat dalam  pembuatan majalah ini. Sebenarnya saya khawatir sudah kehilangan grip wawancara dan menuangkannya dalam tulisan saat terjerumus di dalam proyek ini. Alhamdulillah menurut pemimpin redaksi tulisan saya masih seperti jurnalis pada masanya (masa2 galau maksudnya, bukan jurnalis serius). Saya salin tulisannya di sini karena banyak buah pikiran dan pelajaran yang dapat diambil dari hasil wawancara dengan para narasumber.

 

 

Merantaulah..

Merantaulah..
Orang berilmu dan beradab, tidak diam beristirahat di kampung halaman..
Tinggalkan negerimu dan hiduplah di negeri orang..
Merantaulah..
Kau kan dapati pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan..
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup kan terasa setelah lelah berjuang..
Aku melihat air menjadi kotor karena diam tertahan..
Jika mengalir, ia kan jernih..
Jika diam, ia kan keruh menggenang..  
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak kan mendapatkan makanan..
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak kan mengenai sasaran..  
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam..
Tentu manusia kan bosan, dan enggan untuk memandang..  
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah..
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika terus berada di dalam hutan..
Jika bijih emas memisahkan diri, barulah ia menjadi emas murni yang dihargai..
Jika kayu gaharu keluar dari hutan, ia kan menjadi parfum yang bernilai tinggi..

 

Syair termasyur dari Imam Syafi’I tersebut seakan oase menyejukkan bagi para perantau yang jauh dari tanah air. Tak sedikit di kalangan para perantau yang tetap merindu tanah air meski telah hidup dan membangun kehidupan di perantauan.

 

Antara Motivasi dan Kondisi

Banyak hal yang menjadi sebab dan memotivasi setiap orang untuk merantau keluar negeri. Sebagian karena melanjutkan belajar di jenjang berikutnya, ada juga yang ditugaskan oleh kantor, tak jarang karena mengais rizki di negeri orang, ada pula para istri yang mendampingi suami dan menjaga keluarga.

Sebagian memulainya di usia sangat muda. Seperti Rina Kartina yang selulusnya dari SMA 3 tahun 1995 langsung merantau ke Amerika Serikat. Keberanian yang patut diacungi jempol bagi pelajar berkerudung di usia galau pada masa itu.  Demi menuntut ilmu, Rina berangkat ke Oklahoma State University, Oklahoma, USA sebelum  kemudian transfer kuliah ke Ohio State University, Ohio, USA dan lulus S1 akhir tahun 1998.

Banyak pula yang mulai merantau setelah lulus sarjana strata 1. Apalagi beasiswa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya banyak tersedia baik dari pemerintah maupun swasta di dalam dan luar negeri. Muhamad Reza, lulusan SMA 3 tahun 1993, segera setelah menjadi sarjana elektro berangkat merantau ke TU Delft, Belanda, dengan satu tujuan; menuntut ilmu dan membuka wawasan untuk kemudian berbagi pengetahuan sesuai tekadnya menjadi dosen.

Ada juga Rany Agustina Susanti yang lulus dari SMA 3 pada tahun 2005 dan melanjutkan pendidikan sarjananya di ITB. Setelah meraih gelar sarjana teknik, Rany melanjutkan studinya di tempat yang sama kemudian mengikuti program pertukaran pelajar (Exchange Student Program) dari Erasmus Mundus di Ghent University, Belgia.

Tekad dan motivasi yang kuat adalah awal keberanian merantau. Lingkungan keluarga terdekat yang kondusif mendukung menjadi semacam penguat tekad bagi para perantau muda belia. Bagi Rina, motivasi dari orang tua yang menginginkan putra putrinya mandiri menjadi modal penting. Bukan hanya motivasi, namun juga gemblengan sejak kecil yang mengondisikan untuk mandiri. Bentuk pendidikannya sederhana saja tapi cukup meninggalkan jejak, misalnya kalau ke rumah nenek ikut dengan truk pengiriman ayam ke Ciamis atau jika ada karyawan perusahaan orang tua mencari suku cadang mesin ke Jakarta diharuskan ikut, bersama karyawan anak SD celingak celinguk berburu suku cadang di Glodok atau Pasar Kenari

Sementara bagi Reza dan Rany, merantau didasari oleh keinginannya untuk melanjutkan sekolah dengan membuka wawasan dan memperluas pengalaman. Apalagi Reza yang sejak awal sudah bertekad menjadi dosen, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tentunya mutlak diperlukan. Pilihan melanjutkan sekolah di luar negeri membuka peluang untuk memperluas jaringan selain memperkaya pengalaman, membuka wawasan, dan menyerap ilmu dan teknologi terbaru.

Kesempatan bekerja di luar negeri semakin banyak dilirik sejak badai krisis moneter 1998. Lebih kurang 10 tahun kemudian, ketika harga minyak dunia meroket, kebutuhan tenaga ahli pengolahan minyak dari Indonesia banyak disukai di seluruh belahan dunia sehingga memicu peningkatan para pekerja perantau. Pendapatan dan insentif yang jauh lebih besar menjadi motivasi utama selain keinginan meningkatkan nilai curriculum vitae dengan melebarkan sayap pengalaman dan memperkaya wawasan terutama di bidang pekerjaan yang sesuai.

Selain para pekerja yang berpindah dari dalam keluar negeri untuk menikmati kehidupan sebagai ekspatriat, para alumni sekolah luar negeri pun tak jarang akhirnya melanjutkan kehidupannya di luar Indonesia karena mendapat pekerjaan di tempat perantauannya. Intan Ambari, alumni SMA 3 lulus tahun 1995, yang niat awal merantau melanjutkan pendidikan sebagai modal menjadi dosen beralih haluan dengan menjadi profesional di Perusahaan Belanda, Shell Nederland Chemie B.V. Kondisi kampus tempat ia mengabdi di saat itu memaksa Intan mengalihkan pilihannya. Demikian pula Reza yang setamatnya S2 melanjutkan S3 dan akhirnya berlabuh menjadi pekerja industri di ABB Swedia.

 

Adaptasi dan Kehidupan Sosial

Menjalani kehidupan yang berubah ritme saja sering membuat kelabakan, apalagi diiringi perubahan adat istiadat setempat, sistem sosial dan kenegaraan, juga kondisi lingkungan, cuaca dan iklim. Tak mengherankan kalau masa-masa awal pindah negara adalah masa terberat perantau. Belum lagi penyakit malarindu tropikangen yang kerap melanda terutama bila ini saat pertama jauh dari keluarga. Masa adaptasi adalah kunci kenyamanan menjalani hari-hari selanjutnya di tanah nun jauh dari negeri.

Biasanya sesama orang Indonesia akan sering berkumpul dengan kawan sekampung, belanja bersama, memasak dan kemudian mencicip makanan sambil ngobrol dalam bahasa Indonesia, berbagi cerita dan informasi. Ketika masa-masa adaptasi sudah dilalui dengan baik, fokus utama pun segera dapat dijalani. Seiring berjalannya waktu, selain fokus dan menjalani tujuan utama, dimulai juga kehidupan sosial lainnya. Bergabung dengan organisasi pelajar ataupun profesional, aktif di kelompok keagamaan, maupun turut sumbang waktu, tenaga dan pikiran di organisasi-organisasi budaya yang banyak berperan memperkenalkan Indonesia dalam arti positif.

Tak jarang yang tadinya tidak pernah bersentuhan dengan budaya tradisional, mendadak jadi penari yang gemulai di panggung, pandai memainkan angklung, bahkan merdu menyanyikan lagu daerah. Kulinari Indonesia yang luar biasa kaya juga sering dimanfaatkan oleh para perantau saat ada festival budaya untuk membuat dan berjualan makanan khas cita rasa tanah air.

Di negara-negara dengan populasi pejuang devisa yang tinggi seperti Timur Tengah, Malaysia, dan Hongkong, peran para istri perantau yang mendampingi suami pun sangat berarti dalam membantu pemberdayaan para TKI dan TKW. KBRI biasanya membuka pintu bagi warga Indonesia yang memiliki waktu untuk membantu memberdayakan mereka baik bagi mereka yang lancar dan aman maupun yang sedang bermasalah dan ditampung di shelter KBRI. Rutin para istri ekspatriat asal Indonesia ini memberikan pendidikan yang bermanfaat terutama yang bisa digunakan sebagai sumber mencari nafkah atau penunjangnya; seperti keterampilan menjahit, memasak, dan reparasi elektronik serta kemampuan bahasa Inggris dasar. Mereka juga aktif memberikan konseling psikologis maupun siraman rohani dengan pendidikan agama.

Selain terlibat dalam orginasasi baik informal maupun formal, para perantau yang sukses selalunya tergerak untuk memberdayakan para perantau asal Indonesia lainnya yang masih berjuang maupun berusaha bertahan di rantau guna menyelesaikan studi maupun mempertahankan hidupnya. Bagi Reza, meski keinginannya menjadi dosen akhirnya harus berubah menjadi pekerja industri, minat dan bakatnya di bidang pendidikan tersalurkan dengan memberikan bimbingan kepada mahasiswa-mahasiswa yang tertatih-tatih menyelesaikan studinya di luar negeri. Tak hanya dukungan materi pelajaran, tapi juga konsultasi dari sisi motivasi, taktik dan strategi serta penajaman kemampuan pribadi.

Bagi para pengusaha, berpindah negara bukan berarti harus total berhenti dari aktivitas usaha di Indonesia. Di zaman digital di mana segala sesuatu hanya sejauh satu klik, bahkan perusahaan pun masih bisa dijalankan jarak jauh. Rina, yang kembali harus merantau pada tahun 2012 untuk mendampingi suami yang kala itu bekerja di Abu Dhabi, tetap menjalankan perusahaannya yang terus tumbuh dan berkembang. Pemilik merk dagang Mukena Tatuis ini sekarang masih saja merantau mendampingi suami dan menjaga keluarga yang menetap di Manchester dan PT Tatuis Cahaya International masih terus eksis di bawah kepemimpinannya bahkan karyawannya meningkat lebih dari 3 kali lipat.

 

Menyambut Tantangan dan Berkiprah di Pentas Global

Berkiprah dan melanjutkan karya di negara lain adalah tantangan tersendiri bagi para perantau. Reza, yang sejak kecil selalu menjadi pelajar terbaik di Indonesia, di masa awal perantauannya merasakan beratnya perubahan paradigma. Terbiasa  pasif menjadi harus aktif, terdoktrin terhadap satu jalan menjadi terbuka dengan berbagai kemungkinan. Butir-butir penting yang digarisbawahi untuk keluar dari kesulitan dan memenangkan pertarungan adalah mengenali kelemahan dalam teknik komunikasi. Kesulitan menyampaikan buah pikirian dengan tepat, akurat, dan baik tanpa emosi adalah yang pertama harus diatasi. Yang selanjutnya; kesulitan bekerja sama yang dibangun dari sikap berkompetisi sejak dini di lingkungan sekolah dahulu menjadi tantangan yang perlu ditaklukan. Menanamkan dalam hati bekerja sama bukan berarti kalah dalam bersaing melainkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Ketika kelemahan-kelemahan mendasar telah dikenali dan diatasi, berkiprah di dunia global bukan lagi hal mustahil. Sejak meraih best grade average sebagai mahasiswa pasca sarjana di Delft University of Technology, Reza terus maju baik di bidang studi maupun setelah memasuki dunia profesional.

Tantangan lain bagi para pekerja profesional Indonesia adalah meningkatkan citra Indonesia di mata dunia, terutama di negara-negara yang banyak memanfaatkan tenaga kerja domestik Indonesia. Di negara-negara Timur Tengah, Malaysia, atau Hongkong, bagi warga baik penduduk lokal maupun pendatang, Indonesia adalah masyarakat kelas dua, padahal ada ratusan bahkan ribuan profesional Indonesia. Pekerja profesional Indonesia jadi semakin dituntut untuk mampu menunjukkan kinerja terbaiknya.

 

Tinggal di mana pun di berbagai belahan dunia, suka dan duka selalu dipergilirkan, demikian pula kemudahan dan tantangan. Jauh dari lingkungan keluarga terdekat, urusan izin tinggal dan legalitas, tak jarang pula diskiriminasi SARA adalah cerita-cerita kesulitan perantau yang sering luput dari pandangan. Keinginan kembali ke Indonesia, berbakti dan berkiprah untuk negara masih ada di hati kecil sebagian besar perantau. Semoga para perantau yang kembali membawa pengalaman-pengalaman terbaiknya untuk lebih memberdayakan lagi bangsa Indonesia.

Out of Comfort Zone

Udah 3 minggu di Belanda, tepatnya Den Haag. Alhamdulillah, kumpul lagi ama suami. Kembali lagi ke rutin, rutin yang sangat beda dengan dulu.
Keluar dari zona nyaman setelah hampir 6 taun di dalamnya awalnya terasa menakutkan. Apalagi ternyata benar dalam arti harfiah juga. Terbiasa nyaman dalam dekap sinar matahari sepanjang hari, atau kalo sedang tak ada pun tak pernah kedinginan, sekarang bahkan di saat mendarat pun disambut -6 derajat celcius yang terus menurun dari hari ke hari sampe dinda sering nangis kalo lg harus keluar rmh. Antar-jemput anak suami pake MyVI, ga kepanasan ga keujanan, berganti dengan berjalan dalam dingin selama 20 menit menuju halte bis untuk kemudian naik bis selama 3 menit, untunglah pagi-pagi Raisha berangkat dengan jemputan. Terbiasa mudah berkomunikasi di mana saja, sekarang… hmmm, ga bisa bahasa belanda samsek hihihi… Kadang kalo diajak ngomong ada juga nangkepnya klo pas mirip-mirip jerman, tp banyaknya ga ada miripnya tuh.
Kebiasan sibuk ngurusin macem2, sekarang di rumah aja bulak balik masak buat pasukan yang selalu lapar tapi sulit makan di luar. Ga ada lagi masak cuma sehari sekali, ntar siang/malem catering Budhe Ning, atau beli siomay Teh Helma/Teh Renny, nyetok pempek dan tekwan bu Jun.

Dinda dan kebab
Dinda menikmati kebab

Bukan berarti kita ga pernah makan di luar sih… Kalo Sabtu dan Minggu jadwal masak berkurang jadi sekali atau 2 kali aja sehari krn kita biasa makan kebab di warung turki. Raisha ga terlalu suka, jadi dia paling pilih kentang. Kalo Dinda… hmmmm, doyan bangettt :-). Padahal pas hamil dua-duanya ngidamnya kebab loh, tapi hasilnya cuman Dinda yang doyan :D.

 

Jemput Raisha
Jemput Raisha di sekolah

Tapi alhamdulillah, so far semuanya baik-baik aja. Raisha dengan mengejutkan melalui hari-hari pertamanya di sekolah dengan percaya diri ga pake nangis-nangis. Bahkan di hari kedua sekolah dia udah berangkat naek jemputan (yang kayanya membuat dia lebih nyaman dibanding jalan ke halte bis dingin2 di pagi hari).
Sekolahnya sendiri sama kurikulumnya sama Mutiara, sekolah Raisha yang lama. Jadi dia ga banyak kesulitan adaptasi dengan kurikulum. Bedanya, pendekatannya lebih personal, jadi setiap anak assignment-nya beda-beda disesuaikan dengan kemampuan. Raisha hanya mengeluhkan pelajarannya terlalu gampang sekarang, baik spelling test, reading, maupun numeracy-nya :-). Di kelas cuman ada 5 orang anak perempuan, sisanya laki-laki. Jadi anak berlima ini cepet akrab.
Dulu di Malaysia kami orang tua ga banyak cerita soal makanan halal, mungkin karena di sana makanan halal bukan sesuatu yang susah. Sekolah pun nyediain makanan yang halal. Di sini kita bilangin sama Raisha untuk ga sembarangan makan, kalo dikasih sama temen bilang aja thank you, I’m full. Dia ternyata ngerti banget, thx to Dr. Hoccine yang menurut Raisha banyak menerangkan soal makanan halal ini. Kebetulan sekolah sekarang ga nyediain makan, jadi Raisha selalu bekel snack dan makan siang dari rumah.

Oiya, kami tinggal deket sekolah Raisha sebenernya. Hanya 7 menit kalo naik sepeda. Cuman karena dingin jadi belum naik sepeda ke sekolah.
Tetangga di apartemen atas dari Saudi Arabia, kami sempat berkenalan waktu saya baru aja sampe. Kadang kalo Maghrib di kamar anak2 (tempat kami menyediakan pojokan untuk sholat dan ngaji), terdengar adzan dan suara imam memimpin sholat. Menghangatkan.
Tetangga sebelah orang Belanda yang baik dan ramah. Hari ketiga kami tinggal di sana, listrik jegleg. Week-end, dan kami akhirnya pasrah nunggu Senin setelah ga bisa menaikkan sikring ke atas untuk membuat listrik kembali menyala. Sang tetangga, suami-istri yang baik itu bolak balik ke rumah, meriksain. Sebelum akhirnya mereka menyerah, pulang, dan menelpon kakak mereka yang katanya lebih jago secara teknik. Balik lagi bawa senter banyak in case kami tetep ga bisa nyalain listrik. Trus sesuai saran sang kakak, kita unplug semua colokan listrik dan lampu. Alhamdulillah akhirnya sikring bisa naek lagi dan listrik kembali menyala.

Al Hikmah Den Haag
Masjid Indonesia Al Hikmah

Selama 3 minggu di sini, baru sempat sekali ikut Pengajian Ibu-ibu Malaysia (yang ustadznya orang Indonesia dan berbahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga para ibu Melayu itu cenderung familiar dengan kata-kata bahasa Indonesia). Thx to Mbak Een yang hari itu udah jemput, minjem car seat buat Dinda duduk di mobil, sampe nganter pulang ke rumah lagi (ditambah krn saya lupa bawa dompet, utang untuk urunan hehehe).
Pernah juga sholat Zhuhur di Masjid AlHikmah, masjid Indonesia di Den Haag. Ketemu dengan seorang Ibu yang ngajakin untuk dtg tabligh akbar bersama Aa Gym. Kami kemudian datang ke tabligh akbar tersebut. Ada banyak warga Indonesia berkumpul di sana mendengarkan ceramah, alhamdulillah… Dan teuteup dong, tak bisa menggantikan kerinduan pada Kajian Tafsir Kamis bersama Ustadz Muntaha dan ceramah2 Pengajian WIATMI bersama berbagai Ustadz yang luar biasa. Tetep bersyukur, alhamdulillah, masih bisa denger ceramah di sini.

Percakapan di Suatu Minggu Sore

Mas: “Neng, kapan kita bisa ngurusin surat mobil?” Ceritanya kita baru selesai ngutang 🙂

Saya: “Ehm, kapan ya?” sambil me-review kegiatan seminggu di hadapan, sebelum akhirnya bilang, “Minggu depan gimana, Senin depan aku kosongin jadwal…”

Mas: “Oke, jangan lupa ya neng, kosongin Senin depan, sebentar koq katanya ngurusnya.”

Saya: “Sip!” sambil bersyukur punya suami penuh pengertian dan terbingung-bingung juga, yang ngantor siapa koq yang “sok” sibuk sapah 😀

Turning 3

She is turning three…
Still can’t believe it, she even has not yet had any younger sister/brother.
Waw… time is flying 🙂
Tau-tau udah lulus potty training.
Udah demen sekolah.
Alhamdulillah dapet sekolah yang cucok buat Dinda, dan juga buat ibu-bapaknya.
Udah pinter dan ceriwis banget.
Syukurnya lucunya belum ilang2, masih berasa punya baby.
Baby yang selalu ceria.

Happy birthday sweety,
semoga tumbuh sehat, cerdas, ceria, dan jadi wanita sholihah sebaik2nya perhiasan dunia 🙂

What Money Can Buy

Sekitar 2-3 bulan yang lalu, kangmas lagi tertimpa beban dan tekanan tinggi di kantor. Jadi lumayan deh, rada2 stress gitu. Akibatnya… shopping deee. Dan karena shopping buat diri sendiri bakal bikin dia merasa bersalah (nambahin lg penyebab stress), akhirnya dia memutuskan buat membelikan istri tercintanya hp baru, pengganti hp lamanya yang udah dekil dan ilang salah satu keypadnya (bukan ma dinda ato ama raisha loh ilangnya, ma si mas). Sebenernya saya cukup puas dengan hp lama itu, selain karena emang penggunaan hp buat saya cuman alat telpon dan sms (yang mana dengan hilangnya keypad sama sekali ga mempengaruhi kedua fungsi itu), juga krn dengan hp buluk, ga terlalu kuatir klo si dinda yang waktu itu suka sekali membanting2 barang pada satu kesempatan bakal membanting hp itu. Tapi untuk membahagiakan suami (alesandotcom) yang lagi pengen belanja, saya iyah aja deh waktu suami mo beliin N**** 5800 Xpress Music.
Sebenernya sayang juga sih…, berat gitu pas ngeluarin uang buat bayarnya. Soalnya dalam pikiran, cuman buat sms dan telpon doang koq musti bayar mahal2 ya… Tapi belakangan, setelah teknologi internet di rumah memasuki era wireless, saya mulai menggunakan hp buat nge-cek email, ga perlu nunggu anak2 tidur lelap buat konek ke internet (biasanya saya buka laptop kalo anak lagi tidur doang ato klo bapaknya anak2 udah pulang, jadi si lappy bisa relatif ga diutik2 ama mereka). Perasaan kemahalannya mulai berkurang deh. Trus ga lama sesudah itu, bisa nginstal Garmin juga di hp, which is buat tukang nyasar kayak saya (dan si mas) mah cukup membantu buat jalan2 keliling kota. Akhirnya ilang deh perasaan kemahalannya, yah worth lah buat bayar teknologi WiFi & GPS-nya (yang bikin saya sampe saat ini masih berdecak tiap menggunakan Garmin).

Jadi kebayang dong gimana kaget setengah shock-nya saya waktu belakangan saya tau salah satu (eh salah dua) temen saya ada yang tiap bulan beli tas dari butik high fashion. Lebih kaget lagi waktu tau ternyata harga tas high fashion kaya gitu teh luar biasa mahalnya yaaa, harga hp saya aja cuman setengahnya…
Wawww… looks like money grows on tree 😛

Thank you for your help, Teh

Sekitar 2 taun lalu, waktu lagi nyuapin Raisha di tengah acara keluarga, seorang sepupu bilang, “Kalo punya anak gampang makan itu anugrah banget deee,” sambil dia juga nyuapin anaknya.
Waktu itu saya mengiyakan, secara Raisha itu kadang2 susah makan. Meski kadang2 aja, tetep suka kepikiran kalo dia pas lagi ga mood mamam.

Sejak sekitar 6 bulan lalu, baru semakin terasa deh kalo punya anak gampang makan itu anugrah pisan. Soalnya Dinda ampun2 makannya… Hiks hiks, sampe kuatir dia kurang suplai. Abisan dari sejak awal makan, mulai dari bubur susu, meningkat ke tim saring, dan akhirnya tim kasar… ya ampun, susah banget masuknya. Kalo bisa masuk 4 sendok dengan mudah aja itu udah bikin ibunya rada tenang karena dah ada makanan padat yang masuk.
Segala menu udah dicoba, tetep aja susya. Bahkan, buah yang biasanya anak2 suka, Dinda mah ga mau juga. Setiap kali sendok mendekat ke mulut, pasti wajahnya segera dipalingkan ke sisi yang lain. Kalo telanjur di depan muka, sendoknya dia ajak berantem. Duh Dinda, Dinda, ga laper apa Nak…
Saat dapet bantuan nyuapin Dinda… hmmm, I really feel grateful 😀

Hadiah

Dapet hadiah euy dari jeng Gege! Duh meni bageur si jeng, pdhl ga ngerasa pantes, abis nge-blog jarang2, blogwalking juga seminggu sekali doang kalo lagi week-end 🙂

award

1) Put the logo on your blog.
2) Add a link to the person who awarded you.
3) Nominate at least 7 other blogs.
4) Add links to those blogs on yours.
5) Leave a message for your nominees on their blogs.

Selanjutnya diserahkan kepada:
1. Nyi Iteung nyang lagi mudik. Dapet brp award neng? Oleh2na nya diantos!
2. Risah Hadi di Jepun, sing sabar ngadepin si abang yah. Yang penting si ayah masih gembira riang ditelpon bunda kapan sajah.
3. Mbak Safarindiyah di Jepang yang kayaknya sedang sibuk nemenin anak2 liburan
mo kasih ke
4. Mbak Lina di Pantai Panorama, dan
5. Mbak Yossy
tapi koq udah pada majang award yang sama ya hehehe…
Trus kasih siapa lagi yaaaaa….
Bingung. Ketauan kan jarang nge-blog 😛

Mangga silakan dipajang yah 🙂

Du bleibst immer noch du

Du bleibst immer noch du
Yvonne Catterfeld

Egal, was immer auch geschieht
Und wie weit dich etwas in die Tiefe zieht
Das Leben ändert sich von Tag zu Tag
Doch ganz egal, was auch kommen mag

Du bleibst immer noch du
Gehörst noch immer dazu
Ich steh zu dir lass dich nicht allein
Denn ich bin bei dir um dir ein Freund zu sein
Du bleibst immer noch du
Und ich lass nicht zu
Dass irgendwer dich zu ändern versucht
Ist das Leben auch mal trist, bleib wie du bist – bleib wie du bist

Egal, wie schlimm es um dich steht
und wie lange mancher Zustand nicht vergeht
Jede deiner Tränen wein ich mit dir
Und ich weil ganz tief in mir

Du bleibst immer noch du
Gehörst noch immer dazu
Ich steh zu dir lass dich nicht allein
Denn ich bin bei dir um dir ein Freund zu sein
Du bleibst immer noch du
Und ich lass nicht zu
Dass irgendwer dich zu ändern versucht
Ist das Leben auch mal trist, bleib wie du bist – bleib wie du bist

Ziehen auch dunkle Wolken an dir vorüber
Und werden manche Tage im Stundentakt noch tr³ber
Deine Haut ist ehrlich, die Farbe ganz egal
Freunde helfen sich aus dem tiefsten Tal

Du bleibst immer noch du
Gehörst noch immer dazu
Ich steh zu dir lass dich nicht allein
Denn ich bin bei dir um dir ein Freund zu sein
Du bleibst immer noch du
Und ich lass nicht zu
Dass irgendwer dich zu ändern versucht
Ist das Leben auch mal trist, bleib wie du bist – bleib wie du bist

KL, awal taun 2008
Trying to stay cool 🙂
Schatzy,… ich habe niemanden so geliebt wie ich dich liebe