Alumni Merantau

Tulisan ini saya buat untuk Majalah3 edisi Reuni Akbar SMA3 Bandung 2016. Lama sekali saya ga nulis baik serius maupun santai. Blog saya sudah 2 tahun lebih tak saya isi ketika saya terlibat dalam  pembuatan majalah ini. Sebenarnya saya khawatir sudah kehilangan grip wawancara dan menuangkannya dalam tulisan saat terjerumus di dalam proyek ini. Alhamdulillah menurut pemimpin redaksi tulisan saya masih seperti jurnalis pada masanya (masa2 galau maksudnya, bukan jurnalis serius). Saya salin tulisannya di sini karena banyak buah pikiran dan pelajaran yang dapat diambil dari hasil wawancara dengan para narasumber.

 

 

Merantaulah..

Merantaulah..
Orang berilmu dan beradab, tidak diam beristirahat di kampung halaman..
Tinggalkan negerimu dan hiduplah di negeri orang..
Merantaulah..
Kau kan dapati pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan..
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup kan terasa setelah lelah berjuang..
Aku melihat air menjadi kotor karena diam tertahan..
Jika mengalir, ia kan jernih..
Jika diam, ia kan keruh menggenang..  
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak kan mendapatkan makanan..
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak kan mengenai sasaran..  
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam..
Tentu manusia kan bosan, dan enggan untuk memandang..  
Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah..
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika terus berada di dalam hutan..
Jika bijih emas memisahkan diri, barulah ia menjadi emas murni yang dihargai..
Jika kayu gaharu keluar dari hutan, ia kan menjadi parfum yang bernilai tinggi..

 

Syair termasyur dari Imam Syafi’I tersebut seakan oase menyejukkan bagi para perantau yang jauh dari tanah air. Tak sedikit di kalangan para perantau yang tetap merindu tanah air meski telah hidup dan membangun kehidupan di perantauan.

 

Antara Motivasi dan Kondisi

Banyak hal yang menjadi sebab dan memotivasi setiap orang untuk merantau keluar negeri. Sebagian karena melanjutkan belajar di jenjang berikutnya, ada juga yang ditugaskan oleh kantor, tak jarang karena mengais rizki di negeri orang, ada pula para istri yang mendampingi suami dan menjaga keluarga.

Sebagian memulainya di usia sangat muda. Seperti Rina Kartina yang selulusnya dari SMA 3 tahun 1995 langsung merantau ke Amerika Serikat. Keberanian yang patut diacungi jempol bagi pelajar berkerudung di usia galau pada masa itu.  Demi menuntut ilmu, Rina berangkat ke Oklahoma State University, Oklahoma, USA sebelum  kemudian transfer kuliah ke Ohio State University, Ohio, USA dan lulus S1 akhir tahun 1998.

Banyak pula yang mulai merantau setelah lulus sarjana strata 1. Apalagi beasiswa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya banyak tersedia baik dari pemerintah maupun swasta di dalam dan luar negeri. Muhamad Reza, lulusan SMA 3 tahun 1993, segera setelah menjadi sarjana elektro berangkat merantau ke TU Delft, Belanda, dengan satu tujuan; menuntut ilmu dan membuka wawasan untuk kemudian berbagi pengetahuan sesuai tekadnya menjadi dosen.

Ada juga Rany Agustina Susanti yang lulus dari SMA 3 pada tahun 2005 dan melanjutkan pendidikan sarjananya di ITB. Setelah meraih gelar sarjana teknik, Rany melanjutkan studinya di tempat yang sama kemudian mengikuti program pertukaran pelajar (Exchange Student Program) dari Erasmus Mundus di Ghent University, Belgia.

Tekad dan motivasi yang kuat adalah awal keberanian merantau. Lingkungan keluarga terdekat yang kondusif mendukung menjadi semacam penguat tekad bagi para perantau muda belia. Bagi Rina, motivasi dari orang tua yang menginginkan putra putrinya mandiri menjadi modal penting. Bukan hanya motivasi, namun juga gemblengan sejak kecil yang mengondisikan untuk mandiri. Bentuk pendidikannya sederhana saja tapi cukup meninggalkan jejak, misalnya kalau ke rumah nenek ikut dengan truk pengiriman ayam ke Ciamis atau jika ada karyawan perusahaan orang tua mencari suku cadang mesin ke Jakarta diharuskan ikut, bersama karyawan anak SD celingak celinguk berburu suku cadang di Glodok atau Pasar Kenari

Sementara bagi Reza dan Rany, merantau didasari oleh keinginannya untuk melanjutkan sekolah dengan membuka wawasan dan memperluas pengalaman. Apalagi Reza yang sejak awal sudah bertekad menjadi dosen, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tentunya mutlak diperlukan. Pilihan melanjutkan sekolah di luar negeri membuka peluang untuk memperluas jaringan selain memperkaya pengalaman, membuka wawasan, dan menyerap ilmu dan teknologi terbaru.

Kesempatan bekerja di luar negeri semakin banyak dilirik sejak badai krisis moneter 1998. Lebih kurang 10 tahun kemudian, ketika harga minyak dunia meroket, kebutuhan tenaga ahli pengolahan minyak dari Indonesia banyak disukai di seluruh belahan dunia sehingga memicu peningkatan para pekerja perantau. Pendapatan dan insentif yang jauh lebih besar menjadi motivasi utama selain keinginan meningkatkan nilai curriculum vitae dengan melebarkan sayap pengalaman dan memperkaya wawasan terutama di bidang pekerjaan yang sesuai.

Selain para pekerja yang berpindah dari dalam keluar negeri untuk menikmati kehidupan sebagai ekspatriat, para alumni sekolah luar negeri pun tak jarang akhirnya melanjutkan kehidupannya di luar Indonesia karena mendapat pekerjaan di tempat perantauannya. Intan Ambari, alumni SMA 3 lulus tahun 1995, yang niat awal merantau melanjutkan pendidikan sebagai modal menjadi dosen beralih haluan dengan menjadi profesional di Perusahaan Belanda, Shell Nederland Chemie B.V. Kondisi kampus tempat ia mengabdi di saat itu memaksa Intan mengalihkan pilihannya. Demikian pula Reza yang setamatnya S2 melanjutkan S3 dan akhirnya berlabuh menjadi pekerja industri di ABB Swedia.

 

Adaptasi dan Kehidupan Sosial

Menjalani kehidupan yang berubah ritme saja sering membuat kelabakan, apalagi diiringi perubahan adat istiadat setempat, sistem sosial dan kenegaraan, juga kondisi lingkungan, cuaca dan iklim. Tak mengherankan kalau masa-masa awal pindah negara adalah masa terberat perantau. Belum lagi penyakit malarindu tropikangen yang kerap melanda terutama bila ini saat pertama jauh dari keluarga. Masa adaptasi adalah kunci kenyamanan menjalani hari-hari selanjutnya di tanah nun jauh dari negeri.

Biasanya sesama orang Indonesia akan sering berkumpul dengan kawan sekampung, belanja bersama, memasak dan kemudian mencicip makanan sambil ngobrol dalam bahasa Indonesia, berbagi cerita dan informasi. Ketika masa-masa adaptasi sudah dilalui dengan baik, fokus utama pun segera dapat dijalani. Seiring berjalannya waktu, selain fokus dan menjalani tujuan utama, dimulai juga kehidupan sosial lainnya. Bergabung dengan organisasi pelajar ataupun profesional, aktif di kelompok keagamaan, maupun turut sumbang waktu, tenaga dan pikiran di organisasi-organisasi budaya yang banyak berperan memperkenalkan Indonesia dalam arti positif.

Tak jarang yang tadinya tidak pernah bersentuhan dengan budaya tradisional, mendadak jadi penari yang gemulai di panggung, pandai memainkan angklung, bahkan merdu menyanyikan lagu daerah. Kulinari Indonesia yang luar biasa kaya juga sering dimanfaatkan oleh para perantau saat ada festival budaya untuk membuat dan berjualan makanan khas cita rasa tanah air.

Di negara-negara dengan populasi pejuang devisa yang tinggi seperti Timur Tengah, Malaysia, dan Hongkong, peran para istri perantau yang mendampingi suami pun sangat berarti dalam membantu pemberdayaan para TKI dan TKW. KBRI biasanya membuka pintu bagi warga Indonesia yang memiliki waktu untuk membantu memberdayakan mereka baik bagi mereka yang lancar dan aman maupun yang sedang bermasalah dan ditampung di shelter KBRI. Rutin para istri ekspatriat asal Indonesia ini memberikan pendidikan yang bermanfaat terutama yang bisa digunakan sebagai sumber mencari nafkah atau penunjangnya; seperti keterampilan menjahit, memasak, dan reparasi elektronik serta kemampuan bahasa Inggris dasar. Mereka juga aktif memberikan konseling psikologis maupun siraman rohani dengan pendidikan agama.

Selain terlibat dalam orginasasi baik informal maupun formal, para perantau yang sukses selalunya tergerak untuk memberdayakan para perantau asal Indonesia lainnya yang masih berjuang maupun berusaha bertahan di rantau guna menyelesaikan studi maupun mempertahankan hidupnya. Bagi Reza, meski keinginannya menjadi dosen akhirnya harus berubah menjadi pekerja industri, minat dan bakatnya di bidang pendidikan tersalurkan dengan memberikan bimbingan kepada mahasiswa-mahasiswa yang tertatih-tatih menyelesaikan studinya di luar negeri. Tak hanya dukungan materi pelajaran, tapi juga konsultasi dari sisi motivasi, taktik dan strategi serta penajaman kemampuan pribadi.

Bagi para pengusaha, berpindah negara bukan berarti harus total berhenti dari aktivitas usaha di Indonesia. Di zaman digital di mana segala sesuatu hanya sejauh satu klik, bahkan perusahaan pun masih bisa dijalankan jarak jauh. Rina, yang kembali harus merantau pada tahun 2012 untuk mendampingi suami yang kala itu bekerja di Abu Dhabi, tetap menjalankan perusahaannya yang terus tumbuh dan berkembang. Pemilik merk dagang Mukena Tatuis ini sekarang masih saja merantau mendampingi suami dan menjaga keluarga yang menetap di Manchester dan PT Tatuis Cahaya International masih terus eksis di bawah kepemimpinannya bahkan karyawannya meningkat lebih dari 3 kali lipat.

 

Menyambut Tantangan dan Berkiprah di Pentas Global

Berkiprah dan melanjutkan karya di negara lain adalah tantangan tersendiri bagi para perantau. Reza, yang sejak kecil selalu menjadi pelajar terbaik di Indonesia, di masa awal perantauannya merasakan beratnya perubahan paradigma. Terbiasa  pasif menjadi harus aktif, terdoktrin terhadap satu jalan menjadi terbuka dengan berbagai kemungkinan. Butir-butir penting yang digarisbawahi untuk keluar dari kesulitan dan memenangkan pertarungan adalah mengenali kelemahan dalam teknik komunikasi. Kesulitan menyampaikan buah pikirian dengan tepat, akurat, dan baik tanpa emosi adalah yang pertama harus diatasi. Yang selanjutnya; kesulitan bekerja sama yang dibangun dari sikap berkompetisi sejak dini di lingkungan sekolah dahulu menjadi tantangan yang perlu ditaklukan. Menanamkan dalam hati bekerja sama bukan berarti kalah dalam bersaing melainkan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Ketika kelemahan-kelemahan mendasar telah dikenali dan diatasi, berkiprah di dunia global bukan lagi hal mustahil. Sejak meraih best grade average sebagai mahasiswa pasca sarjana di Delft University of Technology, Reza terus maju baik di bidang studi maupun setelah memasuki dunia profesional.

Tantangan lain bagi para pekerja profesional Indonesia adalah meningkatkan citra Indonesia di mata dunia, terutama di negara-negara yang banyak memanfaatkan tenaga kerja domestik Indonesia. Di negara-negara Timur Tengah, Malaysia, atau Hongkong, bagi warga baik penduduk lokal maupun pendatang, Indonesia adalah masyarakat kelas dua, padahal ada ratusan bahkan ribuan profesional Indonesia. Pekerja profesional Indonesia jadi semakin dituntut untuk mampu menunjukkan kinerja terbaiknya.

 

Tinggal di mana pun di berbagai belahan dunia, suka dan duka selalu dipergilirkan, demikian pula kemudahan dan tantangan. Jauh dari lingkungan keluarga terdekat, urusan izin tinggal dan legalitas, tak jarang pula diskiriminasi SARA adalah cerita-cerita kesulitan perantau yang sering luput dari pandangan. Keinginan kembali ke Indonesia, berbakti dan berkiprah untuk negara masih ada di hati kecil sebagian besar perantau. Semoga para perantau yang kembali membawa pengalaman-pengalaman terbaiknya untuk lebih memberdayakan lagi bangsa Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *