Wallonia: Pesona Pegunungan di Belgia

Seperti biasa, anak-anak ada libur seminggu di awal tahun. Orang Belanda bilangnya voorjaar vakantie, libur awal tahun sebelum musim semi dimulai. Libur selalu jadi kesempatan buat pergi keluar Belanda mengingat kalau bolos di hari biasa kena denda 50 Euro per anak. Awalnya ingin menyaksikan jejak keemasan Islam di Malaga, Spanyol, tapi nunggu harga tiket turun tak terjadi. Setelah berniat diem di rumah aja liburan (dan bapak ga perlu ambil cuti) dengan pertimbangan dingin juga, tetiba berubah rencana. Akhirnya kita pergi ke Ardennes, Wallonia, Belgia. Pertimbangannya; deket, bisa naek mobil, alamnya indah, cocok buat yang pengennya liburan santai aja. Kita milih nginep di Landal, resor pinggir danau yang cantik. Modelnya challet-challet gitu, satu challet bisa buat berempat. Dapur terbuka, ruang tv, 2 kamar, kamar mandi tersedia. Seprai dan sarung bantal pun disediakan tp harus pasang sendiri dan pas mau pulang harus diangkat lagi. Peralatan dapur juga lengkap cuma pas meninggalkan tempat sudah harus bersih lagi; dishwasher sudah dikosongkan, microwave kulkas kosong, lantai disapu, tak lupa sampah dibuang ke container yang disediakan di area resor.

Kita berangkat abis Jumatan karena anak-anak hari Jumat setengah hari menyambut voorjaar vakantie dan bapaknya abis jumatan emang selalunya ga balik ke kantor (Jumat selalu setengah hari). Anak-anak langsung pules di mobil. Kita sampe di perbatasan Belgi sekitar jam 1/2 5, terus maksudnya mau nyari mesjid atau pom bensin/tempat istirahat buat sholat ashar. Ternyata tol di Belgi hari itu macet banget. Dan Belgi ini agak susah pom bensin di pinggir tol. Pas udah jam 5 lewat dan papan informasi jalan bilang pom bensin masih sekian puluh kilometer lagi, akhirnya kita keluar di Anderlecht, mau cari pom bensin dalam kota. Alhamdulillaah pas keluar tol malah ga lama ketemu taman kota yang sepi dan ada danaunya. Akhirnya kita solat di taman dan wudhu di danau. Anak-anak sih justru seneng banget bisa wudhu di danau, pengalaman baru buat mereka meskipun awalnya males banget karena dingin.

Setelah sholat kita lanjutin perjalanan. Perkiraan juragan tomtom kita sampe dalam 3 jam setelah meninggalkan rumah, nyatanya tol macet berat. Akhirnya kita keluar dari tol mau lewat kota aja. Ealaaah, hari itu di dalam kota pun macet. Jarang banget liat jalan segitu ramenya di Eropa. Apalagi udah malem. Akhirnya kita sampe Landal, Froidchapelle, setelah perjalanan 5 jam. Abis makan malam, bobo semua deh.

Pagi terbangun dengan pemandangan matahari terbit di atas danau. Abis sarapan anak-anak keliling resor, main di playground, lari-lari di pinggir danau, foto-foto, nengok kambing di kandang, lompat-lompat di trampolin, pokonya menikmati aktivitas luar ruangan. Agak siangan setelah makan siang, anak-anak masuk ke Kids Club yang ada di resor itu. Mereka seneng banget melukis pake cat air, meewarnai pake spidol, trus Raisha juga main board game monopoli, kebetulan dia baru mulai suka dan bisa main monopoli, sementara Dinda minta face painting. Hari ini anak-anak puas banget main. Sorenya masih keluar lagi, main air di pinggir danau sambil nunggu sunset by the lake.

Besoknya, hari Minggu, baru deh jalan keluar dikit (atau banyak ya) di wilayah Wallonia. Tujuan pertama taman safari di desa kecil Hans sur Lesse. Sebenarnya desa ini lebih terkenal dengan gua-nya, tapi kayanya masih kurang cocok buat anak-anak sekecil Raisha-Dinda. Jadi lebih milih ke taman safari, liat-liat hewan sambil menikmati cantiknya pemandangan pegunungan. Dari kotanya (alun-alun desa maksudnya), kami naik kereta kecil ke pintu taman safari. Tiket masuk dibeli di kounter tiket di alun-alun desa, sepaket sama keretanya. Bisa milih mau muter di dalam taman safari naik kereta atau jalan sepanjang 2 km. Kami milih yang jalan karena pengen santai dan menikmati pemandangan. Meski keragaman hewan tak menandingin taman safari Indonesia, tapi kami cukup senang karena pengalaman berjalan sambil menikmati pemandangannya.

Seusai dari taman safari ternyata hari masih cukup siang. Dalam perjalanan pulang ke resor di Froidchapelle kami mampir di kota kecil yang cantik dan ramai, Dinant. Tujuan pertama ke Dinant Cita Delle (Benteng Dinan). Dari sana naik kereta gantung ke pusat kota yang tepat berada di bawahnya. Puas jalan-jalan di pusat kota, kembali ke atas benteng dan melihat-lihat keadaan benteng yang menyeramkan heuheuheu… Namanya benteng ya, serem ah liat canon, granat, penjara, alat siksa hiiii…
Anak-anak sih cuek aja semua dipake main. Sebelum pulang main dulu di playground yang ada di lingkungan benteng, bersebelahan dengan pemakaman. Eww, meni ga nikmat banget sebenarnya main di pinggir pemakaman.

Hari Senin, setelah bermalas-malasan pagi, beberes challet dan buang sampah, kami check-out menuju Den Haag. Di Brussel mampir untuk makan siang, sengaja pengen makan kebab di Brussel. Karena udah sampe Brussel, Raisha minta ke Maneken Pis. Ini ketiga kalinya lewat Brussel. Yang pertama cuma jalan-jalan di pusat kota, yang kedua ke Atomium dan Mini Europe sebelum mampir ke Jubelpark untuk sholat, dan yang ketiga ini akhirnya ke Maneken Pis juga. Raisha penasaran pengen liat karena mendengar sejarahnya dari guru di sekolah. Abis itu kembali ke sholat di Masjid Agung Brussel yang lokasinya di Jubelpark (bahasa Belanda) alias Parc du Cinquantenaire (bahasa Prancis). Abis sholat lagi-lagi anak-anak main di taman sebelum akhirnya pulang ke Den Haag. Bener-bener liburan yang menyenangkan, santai dan menyegarkan 🙂

Wallonia

Di atas Dinant Citadelle
Masjid Agung Brussel yang terletak di tengah taman luas dan indah
Dinant, kota kecil yang cantik dan ramai
Tepi danau yang jernih
Bermain dengan cat air
Sejarah yang diabadikan dalam maneken pis
Pemandangan dari taman safari di Hans sur Lesse
Bersiap naik kereta, eh, bis, ke taman safari
Terburu-buru keluar challet
Bermain di area resor yang cantik
Menatap matahari terbit dari jendela
Di atas Dinant Citadelle Masjid Agung Brussel yang terletak di tengah taman luas dan indah Dinant, kota kecil yang cantik dan ramai Tepi danau yang jernih Bermain dengan cat air Sejarah yang diabadikan dalam maneken pis Pemandangan dari taman safari di Hans sur Lesse Bersiap naik kereta, eh, bis, ke taman safari Terburu-buru keluar challet Bermain di area resor yang cantik Menatap matahari terbit dari jendela

Menjadi Tamu-Nya: Catatan Sebuah Perjalanan

Haji adalah salah satu momen ritual yang mengumpulkan kaum muslimin dari berbagai belahan dunia di rumahNya sehingga ibadah haji sering disebut sebagai salah satu ibadah sosial untuk menggalang persaudaraan dan solidaritas diantara sesama muslim. Tidak sepenuhnya salah, tetapi lebih dari itu, haji juga sebuah perjalanan ritual yang bersifat sangat individual. Haji menuntut kesiapan mental, fisik, dan ruhani dari masing-masing individu pelakunya. Ia memang ibadah yang dilakukan bersama-sama tetapi setiap orang akan menghayati perjalanannya sesuai dengan kapasitasnya.

Keinginan menunaikan rukun islam kelima telah lama ada, tetapi Allah selalu punya rencana yang lebih baik, mengalokasikan waktu terbaik bagi kami. Kami akhirnya mendapat kesempatan untuk berangkat dari Belanda. Sekitar taun 2010/2011 kami sebenarnya sudah ceki-ceki travel haji di Bandung, mencari yang itinerarynya menginap di Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah (tarwiyah). Ada beberapa yang melaksanakan tarwiyah tetapi saat itu harus antri 2-3 tahun dan Mas Sai ga bisa mastiin 2 atau 3 taun lagi posisinya ada di mana. Di Belanda kami tidak bisa memilih. Bukan karena tidak ada pilihan travel haji, tetapi karena ustadz yang biasa mengisi Pengajian Isnin adalah seorang muthowif di salah satu travel haji. Kayanya ga lucu banget kalo kita ikut travel haji yang lain. Jadi dengan membaca basmallah kami mendaftar dan membayar uang muka sekitar bulan April dan melunasinya menjelang Idul Fitri.

Berbeda dengan prosedur pendaftaran haji di Indonesia yang cenderung berbelit, selain itu nama juga harus terdiri dari 3 kata; di sini prosesnya sangat sederhana. Daftar, bayar uang muka, kemudian menjelang Idul Fitri diminta untuk melunasi sambil menyerahkan paspor dan sertifikat vaksin meningitis. Selanjutnya tinggal tunggu visa. Bahkan nama suami yang hanya satu alias single name pun tidak perlu di-addendum di paspornya. Saking sederhananya, kita juga jadi ga dapet itinerary, ga tau akan menginap di mana nanti di Mekkah ataupun di Madinah, sekamar berapa orang, apalagi mengetahui siapa saja teman sekamar kami nantinya. Terima aja nanti hahaha… Ada manasik haji tapi sangat sederhana dan simpel.

Untuk menyiapkan bekal ilmu, akhirnya kami belajar sendiri. Berdua dengan keluarga Mas Enang, 3 kali Jumat sejak ba’da ashar sampe tengah malam. Liat video2 di youtube, atau mendengar rekaman manasik haji di KL sambil mencatat dan mengingat2. Kami juga membuat itinerary bayangan untuk menjadi panduan kami sendiri tentang apa saja yang akan kami kerjakan selama di Mekkah dan Madinah. Selain itu, Mas dan saya juga ikutan manasik haji sama temen-temen di KL bersama ust. Muntaha via Skype. Kebetulan sebenarnya taun 2011 kami juga sempat jadi penggembira, ikutan manasik haji bersama teman2 yang akan berangkat tahun tersebut dan juga yang sudah waiting list untuk tahun berikutnya. Ternyata teman-teman di KL yang berangkat tahun 2013 ini adalah mereka yang ikut manasik tahun 2011 (karena waktu itu sudah waiting list), jadi berasa mengulang memori indah manasik di The Merits. Seperti biasa, saat manasik ustadz Muntaha hanya menerangkan ritualnya saja sedangkan untuk penghayatan diserahkan kepada masing-masing. Tetapi beliau pun memberi bahan-bahan untuk persiapan ruh dan penghayatan ibadah seperti terjamah tafsir Q.S. Al Hajj, terjemahan buku “Jalan Menuju Haji Mabrur”, keduanya karya Dr. Ruqaia al Alwanil, kemudian juga gambaran tentang Mekkah dan Madinah, tulisan tentang napak tilas perjalanan haji Nabi saw., dan tak lupa beliau mengingatkan untuk membaca buku tentang Sejarah Makkah dan Sejarah Madinah.

Singkat cerita, pada hari yang ditentukan, berangkatlah kami setelah mandi untuk ihram dan sholat safar di rumah. Anak-anak dititipkan kepada nini dan mamangnya yang diimpor dari Bandung. Buat saya ini pertama kali berpisah dengan anak-anak lebih dari 24 jam, selama ini kalau pisah ga pernah lebih dari sehari-semalam. Tapi saya percaya Allah akan menjaga mereka, disamping sudah jelas kami menitipkan ke orang-orang yang akan menjaga anak-anak jauh lebih baik dari orang tuanya. Mamangnya yang tiap hari antar jemput sekolah dan belanja keperluan sehari-hari. Nini yang ngurus segala keperluan domestik dan anak-anak. Semoga Allah memberi mereka pahala yang berlipat ganda. Kami berangkat naik taksi dari rumah. Cuman modal sms; pesawat Turkish Airline nomor penerbangan sekian-sekian, jam 12.00, kumpul di vertrek (departure) 3 jam 9 pagi. Dan kami berada di sana jam 8 lewat lewat dikit karena supir taksi pesenan datang kecepetan sambil maksa kami untuk cepat berangkat (karena kayanya dia ditunggu customer lain). 

Setelah ketemu dengan muthowif kami, kami mendapatkan tiket pesawat dan segera check-in. Baru setelah itu kami bertemu dengan kelompok besar travel haji kami yaitu travel haji milik turki, Milli Gorus. Dimulailah perjalanan ini. Kami memasuki pesawat setelah berdoa bersama. Di pintu kami mendapat paket dari Turkish Airline berupa tas tangan kecil berisi sabun tak berwangi, sajadah lipat, tas kecil tempat sepatu, dan dompet kecil untuk menyimpan uang atau dokumen, alhamdulillah, padahal semuanya sudah kami peroleh juga dari Milli Gorus, jadi punya pengganti kalau kotor :). Di dalam pesawat ada majalah travel turkish airline yang untuk terbitan kali ini khusus membahas haji. Majalah yang sangat sangat bagus (saking bagusnya jadi sangatnya dua kali) berisi tentang sejarah tempat-tempat yang akan dikunjungi di Mekkah dan Madinah, tips kesehatan bagi jamaah haji, dan informasi umum lainnya yang berkaitan dengan haji. Membacanya sangat membantu meningkatkan penghayatan perjalanan haji kita.

Sekitar 3 jam kemudian kami tiba di Turki untuk transit selama 2 jam. Waktu yang cukup untuk kami sholat sunnah dan bagi para pria mengganti pakaian dengan ihrom. Ketika kami siap untuk naik pesawat lagi, ada pemberitahuan bahwa pesawat akan terlambat selama 5 jam. Jadi para jamaah mulai menduduki tempat duduk di area food court bandara, masih dengan pakaian ihrom. Mengundang tanya dari turis asing yang ada di bandara. Satu diantaranya dari Swedia datang ke meja kami dan bertanya hendak ke mana kami dan mengapa berpakaian seperti itu. Sebagai orang Indonesia, kita selalu agak segan bercerita panjang lebar tentang ritual agama kepada orang asing secara terperinci. Kebetulan seorang diantara kami adalah orang Belanda (suaminya orang Indonesia), akhirnya dia-lah yang melengkapi cerita kami. Detil terperinci bahkan dimulai dari cerita perjalanan Nabi Ibrahim as hingga turis Swedia itu merasa puas.

Akhirnya 5 jam berlalu, dan kami mulai memasuki pesawat. Anyway busway, semua pengumuman dibuat dalam bahasa Turki dan kalau ada yang nanya baru diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Barulah saya sadar di situ ternyata bahasa Belanda saya lumayan juga (ya iyalaaaah kalo dibanding bahasa Turki). Sampai di atas Qornul Manazil yang merupakan tempat miqat bagi jamaah yang datang dari arah Kuwait, Eropa, Asia Tenggara, pemimpin rombongan mengingatkan untuk melafalkan niat (kali ya, soalnya dia ngomong bahasa Turki terus melafalkan niat dalam bahasa Arab). Setelah itu mulailah jamaah bertalbiah hingga sampai di Jeddah.

Hotel tempat menginap di Asysyisyiah

Setelah melewati pos-pos pemeriksaan dibandara King Abdul Azis Jeddah, akhirnya kami memasuki bis yang membawa kami ke hotel setelah sebelumnya mengumpulkan paspor kami kepada pihak travel agar kami tak repot menjaga dokumen penting tersebut. Kami hanya dibekali gelang merah yang menyatakan nomor maktab kami di Mina dan Arafah serta alamat hotel. Ternyata hotel kami dekat dengan Mina, hanya 2 km dari jamarot. Tiga tower hotel di area tersebut diisi oleh jamaah haji dari travel Milli Gorus seluruh Eropa. Petugas hotel pun dari Milli Gorus sehingga lagi-lagi semua harus dalam bahasa turki. Minta kunci dari resepsionis aja harus nulisin angkanya karena ga bisa bahasa lain selain Turki. Tapi petugas restoran dan kebersihan adalah tki dan tkw Indonesia. Jadi untuk masalah minta bersih-bersih dan nanya menu makanan kita ga kesusahan. Malah orang-orang Turki itu yang susah nanya dan nyuruh bersihin kamar karena para tki-tkw ini hanya bisa bahasa Indonesia dan bahasa Arab.

Setelah istirahat, makan, dan mandi menyegarkan diri, kami berangkat menuju Masjid Al Haram menggunakan bis yang selalu siap mengantar jamaah yang ingin pergi ke Haram d depan hotel. Waktu tunggu di dalam bis paling 10 – 15 menit saja dan selalu ada minimal 2 bis milik travel yang siap menanti di depan hotel dan di terminal dekat masjid untuk mengangkut jamaah dari Milli Gorus. Hanya harus dipastikan mengenakan name tag yang diberikan travel untuk dapat naik ke dalam bis tersebut. Hari itu juga dilakukan tawaf qudum dan umroh (lupa bilang kalau kami Haji Tamattu, jadi melakukan umroh dulu baru haji dan membayar dam hadyu). Dam hadyu sendiri bukan denda pelanggaran tetapi bagian dari haji tamattu. Dinamakan dam karena mengalirkan darah (dam berasal dari kata darah) alias menyembelih hewan.

Setelah selesai umroh, kami tinggal menunggu bermulanya ritual haji. Kami datang pada tanggal 1 Dzulhijjah sehingga ada waktu beberapa hari sebelum ritual haji dimulai. Yang kami lakukan selama menunggu adalah sholat 5 waktu di Masjidil Harom, mengisi waktu dengan banyak membaca Al Quran, dan jika memungkinkan melakukan tawaf. Daerah sekitar masjid masih dipenuhi dengan crane-crane yang sedang mengerjakan konstruksi, tidak heran kalau quota haji terpaksa harus dikurangi karena memang tempat di daerah Masjidil Harom berkurang. Beberapa hal yang baru tentang Masjidil Harom adalah sekarang lebih tertib, jadi jangan harap bisa berwudhu di tempat air zamzam, berwudhu harus keluar masjid dulu. Selain itu askar sedapat mungkin memisahkan shaf ikhwan dan akhwat kecuali di daerah atas (yang tak beratap) dan di sekitar tempat thawaf masih sering bercampur. Jika memasuki Masjidil Harom 30 menit sebelum adzan, maka ikhwan dan akhwat harus memasuki masjid melalui pintu masing2 (ladies gate dan gentleman gate).

Karena hotel yang jauh dari Haram, biasanya kami berangkat sebelum shubuh dan pulang dulu setelah dhuha. Kemudian kembali lagi ke masjid sebelum zhuhur dan baru kembali ke hotel setelah isya. Hanya saja, pemerintah Saudi tiba-tiba mengeluarkan peraturan agar bis besar tidak boleh memasuki lingkungan Masjidil Haram sejak tanggal 5 Dzulhijjah. Travel telah berusaha menggantinya dengan minibus yang berjalan lancar hanya pada tanggal 5. Mulai tanggal 6 Dzulhijjah, operasional minibus ini mulai tidak amanah. Mereka mencabut atribut travel dari minibus mereka dan mengajak kami naik ke minibus tersebut dengan menarik bayaran per orang seperti taksi. Taksi pun dari jam ke jam semakin mahal, dari yang tadinya hanya 20 real dari masjid ke hotel meningkat perlahan setiap jamnya dari 50, 100, sampai 200 real terutama jika diantara penumpang ada perempuan. Suami dan saya pernah diminta 500 real baru boleh turun padahal deal awal 200 real saja. Akhirnya pada tanggal 7, para wanita mengalah tidak lagi berangkat ke Masjidil Haram dan hanya mengikuti sholat jamaah yang diadakan di mushola hotel yang luas.

Sebelum berangkat haji, kami telah mengetahui rencana perjalanan haji kami tidak akan melakukan tarwiyah melainkan langsung ke Arofah, dan memilih melaksanakan nafar awal. Sejak awal pula kami berazam untuk pergi tarwiyah jika memungkinkan (dan diizinkan oleh muthowif) meskipun kami harus berjalan untuk itu. Mendekat ke pelaksanaan ritual, kami beranikan bertanya kepada muthowif yang orang Indonesia mengenai kemungkinan kami untuk bertanazul (memisahkan diri dari rombongan) agar dapat menginap di Mina pada hari tarwiyah tanggal 8 Dzulhijjah (dan melakukan nafar tsani). Muthowif kami tidak berani melarang tetapi izin tidak di tangannya. Kami disuruh langsung bertanya kepada pimpinan rombongan yang orang Turki. Saat itu yang terngiang di telinga saya adalah ceramah ust Muzakkir pada pelepasan haji 2011, bahwasanya bila kita memiliki keinginan yang kuat, biasanya Allah memberi jalan. Kami tidak juga dapat berjumpa dengan pimpinan rombongan sampai tgl 7 Dzulhijjah di mana memang ada pertemuan untuk membahas tentang Hari Arafah.

Kami mengikuti pertemuan tersebut meski tidak mengerti setitik pun apa yang dibicarakan hahaha. Tapi di awal mereka sudah bilang, seusai penjelasan ini akan diikuti dengan penjelasan bahasa Belanda bagi yang memerlukan. Dengan sabar kami tunggu untuk mendengar penjelasan bahasa Belanda. Ketika dijelaskan dalam bhs Belanda, muthowif kami sesekali menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bila kami tidak mengerti. Dijelaskan bahwa rombongan travel akan berangkat langsung ke Arofah pada tanggal 8 Dzulhijjah, namun jamnya tidak dapat dipastikan. Hanya saja setiap orang harus sudah siap pada pukul 10 pagi. Kemudian dijelaskan juga tentang mabit di mana dan rencana untuk nafar awal.

Tenda di Mina
Tenda di Mina

Mas kemudian bertanya tentang kemungkinan menginap di Mina sebelum ke Arofah dan nafar tsani. Ternyata masya Allah, untuk menginap di hari tarwiyah ini malah bagi yang muda-muda sangat dianjurkan untuk melaksanakannya. Hanya saja tidak naik bis, tapi berjalan kaki. Untuk kenyamanan, maka yang menginap dulu di Mina sebelum hari Arofah pergi ba’da shubuh. Alhamdulillaah, kami pergi bersama  barisan muda Turki (ada juga yang sudah tua terutama dari Maroko  yang mengikuti madzhab Hambali dimana tarwiyah diwajibkan bagi mereka). Dari hotel ke jamarot hanya 2 km, tetapi tenda kami di Mina ada di ujung Mina di bawah tulisan Mina Ends Here atau di kawasan Mina extension (Mina Jadiid) sehingga perlu berjalan sekitar 5 km lagi dari jamarot. Total perjalanan hingga sampai di tenda dengan kecepatan jalan yang biasa saja sekitar 1,5 jam.

Dari segala arah menuju Arofah
Dari segala arah menuju Arofah

Setelah mabit di Mina, ba’da shubuh kami melanjutkan perjalanan ke Arofah untuk wuquf dengan berjalan kaki. Pengalaman berjalan kaki menuju Arofah adalah salah satu yang paling mengesankan selama menunaikan ibadah haji. Perjalanan panjang di bawah terik matahari yang perlahan tapi pasti mulai menyengat dengan kecepatan tinggi (orang-orang Turki itu luar biasa kuatnya, kita minum sebentar saja sudah terengah-engah mengejar rombongan) cukup menguras tenaga. Tapi bukan itu yang terpikirkan saat itu melainkan keadaan saat itu. Menyaksikan manusia-manusia bergerombol dari berbagai arah kebanyakan dalam pakaian putih ihrom atau hitam bagi wanita, berjalan menuju satu tujuan, padang Arofah… Saat itu panas menyengat, matahari masih jauh dari jangkauan, payung masih bisa kita kenakan; dapat dibayangkan di yaumil Mahsyar nanti saat matahari sejengkal saja dari kepala kita dan manusia dari seluruh zaman berkumpul di padang Mahsyar :(.

Tenda wukuf
Tenda untuk wukuf di Arofah

Perjalanan ke Arofah sejauh 16 km ditempuh dalam waktu 4,5 jam. Kami tiba di tenda untuk wuquf di Arofah sebelum Zhuhur. Zhuhur kami lakukan berjamaah sekaligus Ashar. Selanjutnya jamaah memanfaatkan waktu paling mustajab dalam setahun ini untuk berdoa, membaca Al Quran, berdzikir dan juga mendengar khutbah Arofah (dalam bahasa Turki untuk tenda kami). Seusai khutbah Arofah sekitar ba’da Ashar, teman-teman Turki sepertinya menganggap sudah selesai karena mereka langsung bersalam-salaman. Kami sendiri orang-orang Indonesia melanjutkan berdzikir dan berdoa hingga Maghrib tiba. Ba’da Maghrib kami bersiap menunggu dijemput bis untuk mabit di Muzdalifah. Alhamdulillah tidak lama menunggu dan tidak ada macet, sehingga sebelum jam 9 kami telah berada di Muzdalifah, menunaikan sholat Isya dan Maghrib berjamaah kemudian istirahat.

Ba’da shubuh kami semua berjalan kembali ke tenda di Mina. Di sana kami menunggu hingga waktu Dhuha kemudian berangkat ke Jamarot untuk melontar jumroh Aqobah. Pemerintah Saudi tampaknya sudah semakin baik dalam menangani jamaahnya. Jamarot sendiri sekarang dibuat 4 tingkat. Perjalanan menuju jamarot dibuat panjang dengan jalan yang besar dan luas sehingga jalan dipenuhi jamaah tetapi pada saat melontar yang hanya sebentar tidak perlu sampai berdesakan, alhamdulillah. Bahkan ketika kami melontar di waktu yang paling afdhol pun padatnya masih boleh tahan lah kalau orang Malaysia bilang.

Seusai melontar jumroh Aqobah kami kembali ke hotel untuk tahalul awal ditandai dengan mencukur rambut karena kami telah memercayakan penyembelihan hadyu kepada yang bertanggung jawab. Kami kemudian melakukan aktivitas normal di hotel. Menjelang Maghrib kami semua kembali ke jamarot di Mina untuk mabit. Karena hotel yang dekat dengan jamarot sementara tenda Mina jauh, mayoritas jamaah memang tidak menginap di tenda tetapi hanya datang menjelang Maghrib dan duduk berdiam di sekitar jamarot sampai pukul 12 malam untuk kemudian kembali ke hotel meski harus sabar-sabar diusir-usir terus sama askar yang menertibkan kawasan tersebut. Namun demikian ada juga trotoar jalan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mabit sehingga tidak mengalami pengusiran. Mas dan saya tetap bertahan di sekitar jamarot hingga subuh, ba’da subuh barulah kami kembali ke hotel.

Selanjutnya seperti biasa kami kembali ke jamarot untuk melontar 3 jumroh ba’da Zhuhur (waktu paling afdhol untuk melontar). Mas mulai sering mimisan hari ini, diduga karena saat perjalanan ke Arofah kurang minum dan tidak melindungi kepala sama sekali. Akhirnya beliau terpaksa menunda melontar jumroh sampai ba’da ashar yang dilanjutkan dengan kembali mabit di dekat jamarot. Saya menyaksikan saat ba’da ashar melontar jumroh memang tidak sepadat ba’da zhuhur tetapi bahkan ba’da zhuhur pun kepadatan masih dapat ditoleransi (mungkin karena pengurangan quota juga ya sehingga Mina menjadi tidak begitu padat).

Saat mabit di pinggir-pinggir jalan di area jamarot ini kami banyak berjumpa dengan orang-orang Indonesia yang memisahkan diri dari rombongannya (eh, ada yang 1 kloter tanazul itu termasuk memisahkan diri ga sih?). Ketika kami bertanya kenapa mereka tidak menginap di Mina, ternyata alasannya karena mereka kurang sreg dengan Mina yang daerah perluasan atau Mina jadid. Memang tenda Mina untuk jamaah haji Indonesia, Turki, Eropa, Amerika dan Australia berada di kawasan perluasan Mina. Maksudnya, di zaman Rasulullah, daerah tersebut bukan termasuk Mina. Untuk menampung jamaah haji yang dari tahun ke tahun semakin banyak, pemerintah Saudi meluaskan daerah tenda Mina hingga ke dekat Muzdalifah (tentunya sudah dengan pertimbangan ulama-ulama juga).

Subuh setelah menyelesaikan mabit, mas dan saya melakukan tawaf ifadhoh berdua saja karena kami akan melakukan nafar tsani sementara rombongan melakukan nafar awal dan akan melakukan tawaf ifadhoh pada saat kami kembali mabit untuk nafar tsani.

Masjid Al Khoyf
Masjid Al Khoyf

Malam ketika kami mabit untuk nafar tsani, Mina sudah mulai lengang. Bahkan kami berkesempatan untuk sholat Maghrib, sholat Isya, dan menginap di Masjid Al Khoyf dekat jamarot yang biasanya penuh luar biasa hingga sholat pun terhimpit-himpit. Malam nafar tsani ini masjid tetap penuh tetapi masih bisa menampung jamaah. Dini hari menjelang subuh, mas mulai mimisan tiada henti sampai 1,5 jam. Alhamdulillah dekat dengan Masjid Al Khoyf ini ada Outpatient Clinic. Kami segera pergi ke sana. Dengan bahasa isyarat dan dipingpong sana sini karena kesulitan komunikasi, akhirnya sampai juga di dokter THT. Hidung mas disumbat dengan perban yang telah dilumuri obat dan baru boleh dibuka setelah 24 jam. Dikasih obat juga berupa parasetamol dan obat tetes jika perban penyumbat sudah dibuka untuk melembutkan pembuluh darah di daerah hidung yang pecah terus. Karena kondisi Mas yang terus-terusan mimisan, kami memutuskan untuk melontar jumroh terahir pada waktu jawaz (waktu yang diizinkan) yaitu langsung setelah sholat subuh. Selesai sholat kami kembali ke hotel, maka selesailah sudah rangkaian ritual haji.

Hari-hari selanjutnya kami tinggal menunggu waktu ke Madinah dan kembali kepada aktivitas sholat 5 waktu di Masjidil Haram serta mengisi waktu dengan banyak membaca Quran dan berdoa. Selain itu juga kami berkesempatan mengunjungi Jabal Nur, Jabal Rahmah, Gua Tsur (dari jauh), dan Hudaibiyah. Seharusnya kami berangkat ke Madinah pada tanggal 21 Oktober, tapi apa mau dikata ternyata ada masalah dengan hotel di Madinah sehingga keberangkatan ditunda paling lambat tgl 26 Oktober. Namun demikian, pada tgl 25 pukul 14.30 usai sholat Jumat kami diberi tahu bahwa malam pukul 8 kami akan berangkat ke Madinah. Pukul 15.00 kami telah siap berangkat ke Masjidil Harom untuk tawaf wadha. Luar biasa perubahan waktu yang sedemikian cepat pun teman-teman Turki kami menyikapinya dengan cepat. Kami orang Indonesia ini yang agak keteteran karena belum beres ngepak-ngepak hahaha… Alhamdulillah tapi pada pukul 19.00 semua koper telah siap diangkut oleh truk dan pukul 20.00 kami berangkat menuju Madinah.

Tiba di Madinah dini hari menjelang shubuh. Di Madinah, hotel dekat sekali dengan Masjid Nabawi, hanya sekitar 200 m sehingga tidak ada kesulitan untuk pergi ke sana. Aktivitas di Madinah selain sholat 5 waktu di Masjid Nabawi, kami juga mengunjungi tempat-tempat yang sarat sejarah di sana seperti Masjid Qiblatayn, Masjid Quba, Bukit Uhud, dan masjid-masjid sekitar Masjid Nabawi. Tidak lupa juga belanja untuk oleh-oleh :).

Masjid Nabawi
Masjid Nabawi ba’da Subuh

Bagi kaum perempuan, kunjungan ke Raudhoh dibatasi hanya ba’da Shubuh dan ba’da Isya (informasi lain saya baca-baca di internet katanya sekarang ba’da Ashar pun dibuka, tetapi saya tidak mencoba). Untuk mengunjungi raudhoh, cukup pergi ke pintu 25 setelah sholat Isya atau setelah sholat Shubuh. Nanti di sana akan ada petugas (askar) perempuan yang mengatur agar kita duduk per negara dan memasuki raudhah berkelompok sesuai negaranya. Saya pertama kali berangkat ke sana bersama rombongan, jadi bersama teman-teman Turki. Di pintu sebenarnya dicegat askar untuk menuju kelompok Melayu karena wajah kami yang melayu sekali. Tapi kami menunjukkan name tag kami yang dari travel turki sehingga kami dipersilakan mengikut rombongan travel kami duduk di wilayah turki. Masih dicegat lagi sebelum duduk oleh pemimpin turki karena kami bukan orang turki, tapi lagi2 kami tunjukkan name tag dan beliau meminta maaf (dalam bahasa Turki) serta menyilakan duduk. Kami menunggu giliran untuk masuk ke raudhah sambil mendengar ceramah (dalam bahasa Turki). Orang-orang Turki ini tertib sekali menunggu dan mengikuti arahan pemimpinnya sehingga sampai di Raudhah. Di lain hari saya pergi sendiri, dan karena wajah Melayu saya tentunya askar menyuruh saya masuk ke kelompok Melayu. Saya duduk bersama kelompok Melayu dan merasakan bedanya hehehe… Tidak ada petugas haji Indonesia yang mengatur (di bagian depan ya, kalau sudah dekat sekali ke raudhoh sih ada), ibu-ibu juga susah sekali diatur, liat kelompok lain dipersilakan untuk masuk, mereka ingin ikut, sampai-sampai askar kewalahan menahan :). Saat di raudhoh pun berdesakan sehingga sulit untuk dapat menunaikan sholat. Mungkin ini salah satu PR untuk petugas haji Indonesia.

Tak terasa waktu kami di Madinah telah habis. Telah sampai waktunya kembali ke rumah. Kami berangkat dari bandara Madinah, kembali ke Belanda yang dingin menggigit setelah bertahan dalam suhu di atas 40 derajat Celcius. Alhamdulillah disambut hangat di Schipol, bahkan bandara Schipol pun menyiapkan spanduk menyambut jamaah haji dan menyediakan mint tea serta baklava untuk para jamaah yang baru datang dan para penjemput. Semoga pembinaan bulan Dzulhijjah tersebut membekas ke dalam kehidupan kami selanjutnya dan semoga Allah menganugerahi kami haji yang mabrur. 

Untuk teman-teman yang hendak berangkat haji, beberapa hal yang kami rasa penting untuk diketahui sebagai bekal adalah persiapan fisik, persiapan mental dan ruh, dan persiapan ilmu. Ibadah haji adalah ibadah fisik yang memerlukan kekuatan fisik dan kesehatan badan untuk bisa dinikmati sepenuh jiwa. Olahraga yang teratur tampaknya akan sangat membantu. Saya sendiri bukan orang yang rajin berolahraga, tapi kebetulan saya hidup di negeri Belanda di mana kaki adalah alat berjalan yang utama selain sepeda. Setiap hari saya harus berjalan untuk antar jemput sekolah saja 6 km (jalan kaki atau naik sepeda), belum kalau harus pergi sana sini yang tentunya kalau tidak hujan saya mengendarai sepeda (hujan aja masih sepedahan kalau waktu mepet tinimbang harus nunggu bis yang melambatkan perjalanan).

Dan walaupun haji adalah ibadah fisik yang sudah sah walaupun pelakuya tidak hafal doa apa pun karena hanya tinggal mengikuti saja pemimpin rombongan, sungguh penghayatan itu akan beda saat kita tau doa yang cocok untuk dilafalkan. Paling tidak, hafalkan doa-doa penting (sambil mengetahui artinya) seperti doa memasuki makkah, doa masuk dan keluar masjid, doa melihat ka’bah, doa memulai tawaf, doa saat sai menuju bukit safa dan marwa dan doa ketika sampai di safa atau marwa, doa minum air zamzam, dan doa-doa penting lainnya. Selain itu juga siapkan doa-doa yang ingin dipanjatkan terutama saat paling mustajab dalam setahun yaitu hari Arafah karena panjangnya waktu paling mustajab tersebut jangan sampai ada doa yang terlewat.

Selain itu, untuk merasakan ruh ibadah, persiapkan juga pengetahuan tentang sejarah Mekkah Madinah, membaca tafsir surat Al Hajj, membaca-baca tentang filosofi haji. Hal ini membantu kita menghayati perjalanan ritual kita, menikmati pengalaman spiritual, dan memotivasi kita untuk melakukan yang terbaik selama menunaikan ibadah haji.

Terakhir, seperti halnya hidup yang penuh kejutan, meski kita sudah siapkan mental, fisik, dan juga jadwal, selalu ada saja yang tak terduga yang terjadi. Demikian juga dengan ibadah haji, selalu ada hal tak disangka yang datang dan menguji kesabaran kita. Selama kita ingat bahwa apa pun yang terjadi adalah ladang pahala bagi kita asalkan kita menyikapinya dengan benar, kita insya Allah akan lapang dada dan legawa menjalaninya :).

 

Mengantar Nini ke Paris

Ceritanya kami mau ngajak ibu jalan-jalan nih. Selama di Belanda 6 minggu, 3 minggu lebih beliau ditinggal bersama anak-anak aja karena kami pergi haji. Trus selama 3 minggu kami ada, disempetin jalan di daerah Belanda kalau week-end. Ibu sendiri sih bukan yang ngoyo pengen jalan. Buat Ibu, ketemu cucu-cucu aja sudah puas dan bahagia. Tapi kalau dah sampe sini tentunya mending sekalian aja liat-liat kehidupan di sini :-).

Untuk yang rada jauh dari Belanda akhirnya milih ke Paris. Pertimbangannya dekat dan banyak obyek yang bisa dilihat. Meski kami udah pernah ke sana, ga bosen juga sama Paris :-).
Kami berangkat naik mobil pagi, sempet mampir sarapan di salah satu rest area di Belgia yang lagi dingin banget. Sarapan bekel dari rumah aja sambil ngeteh dan ngopi anget mengusir dingin, sementara anak-anak sih hepi maen di playground ga berasa dingin. Pura-pura buka restoran ngirimin sarapan kita ke meja hehehe…

Sampe Paris agak siang, muter sampe 3 kali sebelum akhirnya bisa masuk ke tempat parkir apartemen kita di Fraser Suite Harmoni, La Defense. Soalnya agak membingungkan posisinya.
Seperti biasa milih yang deket stasiun metro supaya gampang jalan sana sini ga pake mobil.

Abis maghrib kami pergi ke Eiffel yang selalu tampak lebih cantik di malam hari. Pengen bikin foto yang bagus, tapi ternyata nasib berkata lain hehehe. Itu kamera andalan entah mengapa tetiba aja mati total. Akhirnya memberdayakan kamera poket dan kamera telepon seluler deh. Dari Eiffel kami melanjutkan menyusur Champ Elysse, ngeliat Arc de Triomphe dan menikmati jajaran pertokoan elit Paris ini termasuk diantaranya mampir ke Galeri Mercedes Benz.

Sebenernya besoknya ingin pergi pagi karena pengen masuk Museum Louvre yang konon katanya sekarang bagian Islamnya sudah selesai direnovasi. Tapi anak-anak betah banget maen di apartemen dan Ibu juga kayanya menikmati istirahatnya. Soalnya dingin sih, bikin betah selimutan. Bisa masak pula jadi bisa sarapan anget-anget dan menikmati makanan hangat, tambah males deh.
Akhirnya baru keluar setelah pas waktu check out. Kita langsung pergi ke Sacre Coeur, mau liat Paris dari atas bukit ceritanya. Yang cantik justru Sacre Coeur-nya. Dan di jalan menuju Sacre Coeur ini banyak jualan souvenir aneka rupa dengan harga yang jauh lebih murah dibanding di area Eiffel, Champ Elysse, dan daerah-daerah tujuan turis lainnya. Jadi kalau mau beli souvenir disarankan di sini aja.

Setelah puas liat Paris dari puncak bukit, makan bekal makan siang di taman, dan belanja souvenir, melanjutkan sholat di Masjid Raya Paris. Masjid besar yang dalam sejarahnya menggambarkan keindahan toleransi Islam terhadap agama lain. Rekam sejarah mencatatkan pada masa Nazi menguasai Paris, tak ada Yahudi yang selamat dari penangkapan. Dan umat Yahudi ternyata malah menemukan tempat persembunyian paling aman di kompleks masjid ini.
Kompleks masjid yang didirikan dari tahun 1922-1926 ini terbagi menjadi 3 bagian utama; bagian religius (grand patio, ruang sholat, minaret yang diperuntukkan khusus bagi kaum muslim yang akan menunuaikan sholat dan tertutup untuk turis), bagian pendidikan (sekolah Islam dan perpustakaan) serta bagian komersial (cafe).
Gaya arsitekturnya Hispano-Moorish dengan hiasan berupa elemen-elemen yang terinspirasi dari Al Hambra. Cantik tanpa meninggalkan kesan syahdu dan khusyu.

Paris

Paris
Paris
Paris
Paris
Paris
Paris
Paris
Paris
Paris
Paris
Paris
Paris Paris Paris Paris Paris Paris Paris Paris Paris Paris Paris

Den Haag di Mata Kami

Kurikulum yang diterapkan di sekolah Raisha-Dinda adalah International Primary Curriculum (IPC). Ga kaya IB atau Cambridge, belum banyak yang tau tentang kurikulum ini. IPC ini kurikulum yang komprehensif, tematik dan kreatif ditujukan untuk anak usia 4 – 11 tahun. Proses pembelajarannya jelas dengan tujuan pembelajaran yang spesifik disesuaikan dengan kebutuhan internasional sekaligus personal.

Binnenhof
Binnenhof di daerah Centrum (city center)

Sebenernya bukan mau cerita kurikulum karena bukan ahlinya. Tapi berkaitan dengan kurikulum tersebut, minggu lalu sekolah sempat menjadikan The Hague sebagai topik IPC.  Dan ternyata yang jadi belajar bukan cuman anak-anak, tapi juga ibunya :-). Baru sadar, selama setaun di Den Haag, kita pergi ke Centrum terutamanya cuman buat beli tahu-tempe dan salam sereh. Padahal waktu saya kebagian jaga kelas Raisha ekskursi… weits banyak banget bangunan cantik dan bersejarah di Centrum. Kalo ga suka sejarah, paling tidak itu bangunan cantik buat difoto.

Selama setaun di sini, baru deh terpikir untuk lebih memerhatikan kota tempat kami tinggal. Baru nyadar kalau Den Haag itu kota yang “traditionally Dutch”; tapi berbeda dengan Amsterdam, Den Haag lebih kalem dan lebih hijau. Taman dan hutan kota ada di mana-mana, buat pecinta jalan kaki semacam saya sungguh menyenangkan ada di kota seperti ini. Sepanjang jalan menuju sekolah Raisha, ada banyak taman dan hutan dengan kanal-kanal yang bikin kota tambah cantik, padahal dari rumah ke sekolah cuma 1,5 km aja. Trus  Den Haag itu masih dikategorikan city living, ga ndeso-ndeso amat (which is saya ternyata anak kota yang lebih suka ramai daripada sepi), tapi ga penuh sesak dan bikin pusing kaya Amsterdam.

Selain taman dan hutan kota yang sangat menyenangkan buat tempat main anak-anak, Den Haag juga punya pantai Scheveningen yang terkenal itu di mana anak-anak bisa bersukaria main pasir dan main air (kalo lagi ga dingin). Den Haag sangat menyenangkan buat “outdoor children” semacam anak-anak kami.

Dengan mengetepikan cuacanya yang luarbiasa bikin mabuk kepayang; kadang bahagia liat matahari yang terang lebih sering sendu dan basah dengan mendung dan hujan; Den Haag bener-bener kota yang sederhana dan menyenangkan untuk tinggal. Untuk muslim, masjid-masjid banyak berdiri dan terlihat dengan jelas. Komunitas Indonesia pun ada mesjid sendiri yang lebih memudahkan untuk belajar agama karena menggunakan bahasa Indonesia.

Selain itu buat orang Indonesia seperti kami, makanan di Den Haag juga ga jadi masalah. Ada banyak warung/restoran Indonesia, meski untuk muslim seperti kami tentunya tetap harus periksa kehalalannya. Toko Asia pun menyediakan lengkap keperluan bumbu dapur sampai yang paling aneh semacam kapulaga dan keluwak sekalipun. Anyway busway, jadi teringat ya… Di Indonesia, kita mengenal Belanda hanya sebagai penjajah yang menguasai negara kita lebih dari 350 tahun, tidak terasa lagi sisa-sisa ikatan kita dengan Belanda kecuali dari beberapa kosa katanya yang diserap bahasa Indonesia seperti kantor dan apotek. Tapi ketika sampai di Belanda, terasa banget loh ikatan antara bangsa Indonesia dengan Belanda. Restoran-restoran Belanda banyak menyediakan menu Indonesia dengan nama yang tidak berubah; Babi Ketjap, Nasi Goreng, Bakmie Goreng, Sate Ajam, dan sebagainya. Di supermarket-supermarket biasa, tahu dan tempe dengan mudah ditemukan. Demikian pula bumbu instan untuk bakmi goreng, sate, ayam panggang, bahkan sambal djeroek. Tak lupa jajanan khas Indonesia semacam keroepoek, katjang pedis, katjang bawang. Semuanya produk asli Belanda. Di Den Haag setiap tahun KBRI menggelar Pasar Malam Indonesia, sebuah festival tentang Indonesia yang berlangsung selama 5 hari, isinya bazaar makanan, pameran dan penjualan art & craft Indonesia, dan pertunjukkan seni dan budaya Indonesia. Pengunjungnya ternyata banyak sekali opa dan oma orang Belanda yang bisa tahan duduk berjam-jam nonton pertunjukan. Selain KBRI, pihak swasta di sini juga menggelar Tongtong Fair yang serupa dengan Pasar Malam Indonesia tetapi lebih besar dan lebih lama penyelenggaraannya, dan meskipun tiket masuknya mahal (16 euro per orang) tetap saja penuh sesak.

Clingendael
Taman Clingendael kala musim gugur

Buat para turis yang ingin mengunjungi Den Haag…. Nomer 1 yang harus dilakukan adalah: sewa sepeda. Mulai dari Centrum dengan Binnenhof tempat Konferensi Meja Bundar, istana tempat raja bekerja, dan istana perdamaian (Peace Palace).Sempatkan juga ke Madurodam, kalau ada anak-anak kecil pasti senang sekali mereka di sini melihat miniatur Belanda. Pencinta natur bisa pergi ke Pantai Scheveningen atau bersepeda di hutan Haagsche Bos sambil ngintip istana kediaman sang Ratu (eh sekarang dah resign deng Ratu Beatrix), jangan lupa kunjungi juga taman-taman cantik Clingendael dan Rosemary. Selamat menikmati Den Haag 😉

Mekar Dimanapun Ditanam

Ga kerasa banget udah setaun di Den Haag. Alhamdulillaah semuanya berjalan lancar, mudah-mudahan akan selalu. Teringat setaun yang lalu setengah gamang setengah siap memulai catatan baru dalam hidup keluarga. Terinspirasi kata mutiara, “There is no growth in comfort zone, there is no comfort in the growth zone”, berbekal niat yang baik, dimulailah perjalanan itu.

Sebelum pindah sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa pindah bukanlah hal yang mudah. Apalagi sekarang buntut sudah dua dan si sulung sudah cukup besar untuk bisa terlibat secara emosi dalam segala proses perubahan ini. Ibu dan Bapak memang harus banyak menumbuhkan semangat dan keberanian di hati si teteh sehingga dia pun akhirnya bisa menikmati proses pindah tersebut.

Sementara saya sendiri, yakin dalam hati bahwa akan kehilangan KL dengan segala kehidupan dan kesibukannya. Bukan cuma kesibukan di rumah dan anter jemput anak ke sekolah dan tempat2 mereka beraktivitas, tapi juga kehilangan komunitas dan kesibukan yang sudah menjadi denyut nadi sehari-hari. Diri membesarkan hati teringat sebelum pindah ke KL pun begitu berat meninggalkan pekerjaan, begitu besar rasa sayang yang mengganjal akan ilmu yang tidak akan lagi teraplikasikan; tapi masha Allaah, Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Komunitas yang luar biasa dan kesempatan menimba ilmu yang ternyata masih banyak yang belum dipelajari.

Untuk menguatkan diri, saya membuat target-target pribadi yang ingin saya capai kalau ternyata kehidupan di Den Haag akan membosankan dan membuat saya banyak berdiam di rumah. Detail dan rinci saya buat target-target pribadi yang memang membutuhkan waktu bersendirian di rumah untuk mencapainya. Namun ternyata hanya beberapa bulan di awal saja saya bisa menjalani aktivitas yang membuat saya bisa mencapai target pribadi tersebut, menginjak bulan ke-4 saya mulai  banyak kesibukan yang membuat target pribadi harus diturunkan.

Kimia SMA
Kembali membuka buku Kimia SMA

Belakangan malah saya mulai kewalahan dengan kesibukan. Diantaranya yang cukup menyita waktu adalah ngajar les privat kimia anak kelas 12 yang sekolah di Sekolah Indonesia di Netherland. Kalau sekedar ngajar mungkin tak banyak memakan waktu, tapi menyiapkan bahan ajar ini yang lumayan menyita. Meski saya sering rindu dengan kamera, photoshop, dan aktivitas komunitas lainnya, tapi ternyata saya juga mencintai kehidupan yang baru ini. Menyiapkan bahan les, membuka buku-buku ajar kimia dari kelas 1 sampai kelas 3 dan membuat rangkumannya dalam tema-tema tertentu, mengerjakan kembali soal-soal kimia (yang semasa SMA sangat saya suka) untuk kemudian membagi pengetahuannya dengan siswa yang saya ajar, berusaha membuat pengajaran yang terstruktur dan dipahami sehingga siswa ajar bukan hanya apal cangkem tapi juga memahami apa yang saya ajarkan… membuat saya merasa bersemangat 🙂

Kesimpulan ceritanya, saya jadi semakin yakin dan percaya bahwa di mana pun Allah menempatkan kita, selalu ada ladang amal untuk menuai pahala yang disediakan untuk kita. Tinggal kita yang pandai-pandai mencari dan memanfaatkannya :-).

Ramadhan dan Idul Fitri di Den Haag

Mudah-mudahan belum terlalu terlambat buat mencatatkan kenangan Ramadhan dan Idul Fitri pertama di Den Haag :-). Awalnya cukup geumpeur kalo bahasa Belanda-nya mah (khawatir terjemahannya meski tidak pas) menghadapi Ramadhan di musim panas. Hari pertama Ramadhan, subuh pukul 03.15 dan maghrib pukul 22 lewat. Tapi alhamdulillah hari pertama terlewati, bahkan Raisha pun ikut puasa penuh. Hari berikutnya, karena melihat Raisha cuman minum 2 gelas selama 24 jam (sahur segelas, maghrib segelas), Raisha dibangunkan agak lambat meski masih gelap. Membiarkan dia minum 3 gelas dahulu baru mulai puasa. Berlangsung seminggu Raisha sahur terlambat, setelah itu dia kembali ke jadwal puasa yang sama dengan orang tua karena sudah bisa minum lebih banyak ditambah jadwal Subuh dan Maghrib juga sudah sedikit demi sedikit bergeser. Akhir bulan Ramadhan, Subuh sekitar pukul 04.15 dan Maghrib sekitar pukul 21.00.

Yang paling dirindu dari Ramadhan di KL adalah Ramadhan Learning Session buat anak-anak dan tadarus bersama setiap pagi :). Alhamdulillah untuk tadarus jamaah di sini tergantikan dengan mengikuti tadarus jamaah melingkari laptop di Skype bersama muslimah Keluarga Muslim Delft setiap sore jelang Maghrib. Tak menggantikan indahnya pertemuan tetapi cukup membawa suasana Ramadhan di rumah :-).

Setiap hari Jumat kami sekeluarga mengikuti acara Buka Puasa Bersama di KBRI. Ada ceramah sebelum waktu berbuka dan setelah berbuka sebelum Isya dari Ustadz yang khusus didatangkan dari Al Azhar Kairo selama Ramadhan ini. Melipur dahaga akan siraman rohani. Beliau juga yang mengimami solat jamaah termasuk solat tarawih (menuliskannya pun membuat rindu akan suasananya). Biasanya acara selesai pukul 00.30 (karena Isya-nya juga sudah sangat malam). Oiya, Bu Dubes Belanda ramah baik-hati dan sangat berbaur dengan seluruh warga Indonesia. Beliau bahkan ga segen2 beresin piring yang masih tercecer di lantai saat tempatnya mau digunakan untuk sholat Isya. Mudah-mudahan semakin banyak pejabat Indonesia yang berbaur dengan para rakyat jelita seperti kita ini ya :-).

Kalau hari Sabtu, selama 5 kali buka puasa, sekali mengikuti buka puasa bersama-nya perhimpunan mahasiswa muslim rotterdam di Schiedam, sekali ngikut buka puasa bersama Keluarga Muslim Delft, dan sisanya di Masjid Al Hikmah, masjid Indonesia. Sama ini juga, sebelum buka ceramah, abis buka ceramah lagi, lanjut sholat Isya dan tarawih. Buka puasa bersama yang terakhir, di malam takbiran, kami berkesempatan menyaksikan seorang fotografer Belanda bersyahadat. Terharu rasanya menyaksikan seseorang dengan kesadaran memasuki Dien ini. Yang memimpin upacara-nya orang Belanda yang selama ini jadi Ustadz-nya para mualaf Belanda di masjid Al Hikmah. Semuanya berlangsung dalam bahasa Belanda, dan meski dengan bahasa yang tidak dimengerti, keharuan itu tetep memenuhi dada.

Di Masjid Al Hikmah ini juga pada 10 malam terahir disediakan sarana untuk i’tikaf. Menjelang sahur ada solat tahajjud bersama dilanjutkan sahur bersama. Kebanyakan pesertanya Bapak-bapak, meski ibu-ibu pun ada juga :-).

Al Hikmah Den Haag
Idul Fitri di Masjid Al Hikmah Den Haag

Hari Raya kami sekeluarga sholat Idul Fitri di Masjid Al Hikmah. Terasa banget koq suasana lebarannya :-). Agak siang dateng ke open house bu Dubes di Wisma Duta Wassenaar, ketupat, opor, sambel goreng ati tetep ada, tak kehilangan suasana lebaran tanah air. Setelah itu selama seminggu banyak undangan open house, tetep dengan menu lebaran.

Jadi pengalaman Ramadhan dan Idul Fitri di Den Haag alhamdulillah menyenangkan dan tidak menderita hehehe… Mudah-mudahan pendidikan Ramadhannya berbekas di sepanjang taun sebelum Ramadhan berikutnya dan masih bisa bertemu lagi dengan Ramadhan di mana pun berada :-). Amin.

 

 

Keseharian di Negeri Kincir Angin

Alhamdulillah ya, udah lebih sebulan ga sempet update blog. Sedang menyesuaikan diri dengan jadwal sholat di saat musim semi dan panas yang agak berat buat orang yg ga bisa tidurnya kepotong-potong kaya saya. Ditambah faktor usia tampaknya. Delapan taun yang lalu saya tidak merasakannya seberat ini. Akibatnya pekerjaan di siang hari ga efisien, malam hari ketiduran dengan kualitas tidur yang tidak efektif. Masih berharap mudah2an bisa segera menyesuaikan diri.

Melewatkan bulan Mei, ulang taun Kang Mas, tanpa posting. Emang garing juga secara waktu beliau ulang taun, kami lagi boyongan nginep di hotel nan terpencil di Oostvoorne, deket Rotterdam karena Mas ada offshore training dan Raisha lagi libur, jadi daripada 3 hari tanpa pria di rumah akhirnya kita boyongan. Sempet bikin nasi kuning pake rice cooker di hotel, dah bekel juga ayam goreng dan tempe kering serta mentimun dan tomat sekedar mengingat momen sekian puluh taun yang lalu saat ibu mertua berjuang melahirkannya. Alhamdulillah diberi sehat, rizki, dan iman hingga usia sekarang. Mudah-mudahan selalu di dalam ni’mat iman dan diberi umur yang makmur dengan amal sholih, amin.

Dingin mulai tidak menusuk lagi meski masih berjaket ke mana-mana. Pernah kejadian jemput Raisha, dan anak-anak tertidur di bis, padahal jarak deket aja. Saya pun agak terpejam dan kurang sadar. Sampai di tujuan buru-buru bangunin Raisha dan gendong Dinda. Raisha yang terbangun mendadak segera turun dan lupa sama tas-nya. Alhamdulillah bisa diambil di bagian “lost and found” keesokan harinya. Tapi suami mulai semakin gencar nyuruh nganter-jemput pake mobil. Akhirnya memberanikan diri dan sampe sekarang masih nyetir sejarak 1.4 km saja antara rumah-sekolah, blm merambah ke tempat lain. Kalau hari Senin, ikut Pengajian Ibu-ibu Malaysia, tetep naik trem ke rumah Kak Ella dan pergi numpang Kak Ella. Week-end kalo keluar kota, suami yang nyetir. Kalo dalam kota aja sih naek sepeda :-).

Bersama di depan Paleis Het Loo

Kegiatan week-end selain grocery shopping, sebulan sekali ada pengajian keluarga. Sebulan sekali ada TPA buat Raisha dan Dinda, jadi mereka bisa ketemu sama temen-temen orang Indonesia sambil belajar ngaji sama-sama. Mas mulai seminggu sekali rutin main tenis sama Bapak-bapak temen ngaji keluarga. Kadang sama temen-temen pergi bareng, tadabbur alam ceritanya. Kadang ada acara olahraga bersama alias sport day yang dilanjutkan dengan bakar-bakar sate kalo udara lagi bagus. Alhamdulillah, mulai punya kehidupan sosial di sini.

Sementara target pribadi belum juga tercapai hehehe, mudah-mudahan segera. Anak-anak juga belum mulai piano lagi, taekwondo lagi, masih menikmati week-end bebas ke mana-mana. Pengennya sih piano hari kerja aja, mudah-mudahan segera dapet gurunya. Ibu-bapak mulai les bahasa Arab. Alhamdulillah ada Ustadz Hambali yang bersedia datang ke rumah dan membagi ilmunya. Buat ngaji dengan depth of field yang dalam, tetep mengandalkan Tafsir Kamis Ust. Muntaha dan Ust. Supeno via Skype. Syukur tak terukur buat semua kesempatan menggali ilmu yang ada.

 

Parents-Teacher Meeting dan Masa Kanak-kanak

Ga kerasa udah mid-term aja, ada undangan parents-teacher meeting. Dikasih alokasi waktu dan dipersilakan milih. Kami milih sore pulang kantor jadi KangMas bisa dateng juga dan pergi bareng dari rumah, sepedahan sore-sore.
Sampe di sekolah nunggu bentar sebelum akhirnya dapet giliran.
Seperti biasa kami dengerin komentar dari gurunya. Standar aja sih, Raisha bisa beradaptasi dengan baik, dia is the top in class, bacanya lancar, nulisnya rapi, englishnya excellent, dia mengerti dan aktif saat guru menerangkan pelajarannya, dan math-nya juga okey.

Ruang Kelas Raisha
Ruang Kelas Raisha

Oiya di sekolah Raisha seperti yang pernah diceritain awal-awal dulu, pendekatannya sangat personal. Jadi setiap anak assignment-nya beda-beda disesuaikan dengan kemampuan ga dipaksa harus mengikuti standar tertentu. Misalnya untuk spelling test, ada levelnya, jadi meski satu kelas spelling testnya belum tentu sama (hampir pasti beda hehe). Reading juga dibagi-bagi dalam colour level. Kemampuan membaca anak terpantau banget karena mereka tiap hari membawa pulang buku untuk dibaca yang udah dibaca bersama gurunya di sekolah. Si murid membaca dan guru mendengarkan. Nanti sang guru mencatatkan kesan pesannya di Reading Record. Anak-anak dididik untuk cinta membaca sejak dini jadi mereka terbiasa baca di mana aja.

Kami orang tua Raisha emang ga pernah kuatir dengan literacy Raisha, dia memang really into it. Seneng banget sama baca-baca, nulis-nulis. Yang kita suka bertanya-tanya matematiknya, abis dia ga terlalu suka dan gampang nyerah, ditambah tak terpantau karena ga ada PR dan buku semua ditinggal di sekolah. Tp ternyata matematiknya juga oke. Miss Fran, wali kelasnya, bilang dia ga ada masalah dengan matematik. Liat nih, dia bisa mengerjakan ini dengan lancar, sambil nunjukkin satu halaman kerjaannya. Mas dan saya nyengir, secara itu yang dikerjain dengan lancar udah setengah mati saya ajarin waktu dia mau ujian masuk kelas 1 dari reception.

Jadi inget pidato akhir taun ajaran dan perpisahan Mr. Christopher Fitzgerald, kepala sekolah Raisha yang lama di Mutiara. Waktu itu acara Speech Day and Prize Giving Ceremony. Kami dateng karena selain saya emang selalu berusaha hadir di acara sekolah Raisha, Ms. Esther, wali kelas Raisha dah sengaja dateng ke mobil waktu saya jemput Raisha minta saya hadir. Pas pidato akhir taun ini, Mr. Fitzgerald mengungkapkan fakta-fakta ttg pendidikan. Yang pertama yang membekas banget, usia mulai pendidikan belum menentukan hasil pendidikan di kemudian hari. Beliau ngasih contoh di Finlandia, usia memulai pendidikan dasar adalah 7 taun tapi terbukti Finlandia adalah penghasil lulusan2 terbaik di dunia dibandingkan di Amrik yang memulai di umur 5 taun.

Udah gitu ternyata juga lamanya seorang anak belajar di kelas belum tentu menghasilkan penyerapan ilmu yang lebih banyak. Mr. Fitzgerald bilang, jadi coba para orangtua yang membawa anaknya ke kelas2 pelajaran tambahan melakukan pratinjau lagi apakah hasilnya cukup efektif atau hanya membuat anak lelah.

Dan yang penting lagi, penguasaan bahasa ibu. Anak selayaknya lancar dan fasih berbahasa ibu dulu sebelum bertambah (bukan berpindah) dengan bahasa lain. Ini memudahkan anak untuk menguasai banyak bahasa dan menekan tombol switch saat harus berbicara dalam berbagai bahasa. Saya perhatiin di sini temen-temen Raisha lebih nyaman menggunakan bahasa ibu-nya dibanding bahasa inggris. Jadi kalo orang tua menjemput, mereka langsung tekan switch pindah bahasa ibu, kalo ngobrol sama temen baru ganti lagi. Beda sama waktu dulu di Mutiara, lebih sering terlihat saat anak sudah bersama keluarga pun mereka tetep berbahasa Inggris.

Sukaaa banget deh sama pidatonya Mr. Fitzgerald ini. Soalnya mendukung saya buat ga masukin Raisha (dan Dinda nantinya) ke berbagai macam les yang sifatnya akademik. Jadi mereka punya lebih waktu untuk bermain dan belajar yang lain-lain; kayak taekwondo, balet, piano dan sebangsanya. Saya sangat menghargai masa kanak-kanak yang cuman 12 taun ituh… Manfaatkan buat having fun sepuas-puasnya. Main yang fun, taekwondo dengan gembira, balet krn seneng, piano juga bikin hepi sehingga sekolah pun ga bosen dan dinikmati ;-).
Anyway, kalo saya menekankan penggunaan bahasa ibu sama Raisha dan Dinda sebenernya sederhana, liat temen2 kuliah dulu bisa menguasai 3 – 5 bahasa, gampang banget switch-nya, jadi pengennya anak2 juga bisa banyak bahasa dan pastinya ga lucu kalo bisa banyak bahasa ga bisa bahasa ibu-nya :D.

Empat Tahun Kehadiranmu

 

 

26 Februari kemaren, Dinda genap 4 tahun. Dinda inget kalo ulang taun-nya itu ga lama sesudah Maiza, sahabatnya di KL. Jadi abis Maiza ulang taun, dia udah suka pengumuman sama ibu, bapak, dan tetehnya kalo dia sebentar lagi 4 taun supaya ga lupa kadonya *hadeuh*.
Ulang taun memang salah satu momen istimewa di keluarga. Bukan yang dirayain ngundang2 temen atau bikin acara rame, cuman sekedar supaya kita merasakan ada yg beda dari rutin biasa. Ada masakan ibu yang ga biasa. Kapan lagi ibu bikin nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya kalo bukan ulang taun. Jadi ya cuman 3 kali setaun, ulang taun Mas, Raisha, dan Dinda. Ada potong kue yang juga buat keluarga kami istimewa secara semua di sini pencinta gorengan jadi jarang-jarang makan kue. Ada doa yang dipanjatkan terkhusus buat yang ulang taun mengharap usia yang tersisa bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dan pastinya kalo yang ulang taun si anak, ada sedikit pesan2 sponsor alias target yang diharapkan dicapai di usia barunya.

Jadi ya begitulah, dinda minta kado barbie dan cake ulang taun barbie juga. Ibunya tepok jidat. Maklum baru di Den Haag, blm tau tempat beli bahan kue (karena ga tau kehalalan cake yang dijual di bakery, pastinya harus bikin). Akhirnya dibujuk lah supaya mau cake coklat sajah alias blackforest. Dinda setuju waktu dibilangin kita susah cari yang halal di sini. Nyari di Mbah Google resep blackforest. Lanjut nyari bahan-bahan kue di supermarket. Itu pun susah payah dan seadanya karena dibatasi kode2 emulsifier yang dinyatakan haram.
Oiya pas nyari resep di Google itu, yang pertama keluar adalah resep blackforest yang saya bikin waktu ulang taun Mas ga lama setelah kami nikah alias 7 taun yang lalu. Saya ketawa sendiri waktu sadar udah 7 taun ga baking. Jadi inget beberapa taun yang lalu ada temen kuliah yang pindah ke KL. Trus kita diundang dateng ke housewarming-nya. Di sana ada brownies yang dibawa dari bakery di Jakarta. Temen saya nyodorin ke si Mas, “Ini cobain deh, lebih enak dari brownies-nya Vidi.”
Si Mas malah nanya, “Emang brownies-nya Vidi kaya apa?”
Saya bilang ama temen, “Dia ga pernah nyobain kue bikinanku, Bang ”
Temen saya melongo, “Hah, serius loe Din, ga pernah nyobain brownies bini loe?”.
Si Mas menggeleng. Masih ditanyain lagi, “Pudingnya?”
Tentu aja geleng lagi hehehe…
Temen saya bilang, “Rugi baget loe hehehe… Kita jaman kuliah langganan brownies n puding-nya Vidi.”
Heuheuheu… bakul kue jaman kuliah, yang hiasannya tiada seindah jaman sekarang. Pensiun karena suami ga suka kue dan alih profesi jadi tukang gorengan. Kemudian pensiun juga waktu suami kudu ngurangin makan gorengan karena bakat kolesterol tinggi.

Singkat cerita, akhirnya saya baking lagi. Kebetulan waktu itu Raisha juga lagi libur sekolah, jadi anak2 di rumah aja. Mereka super excited liat ibunya baking dari sejak mulai ngocok telor hehehe…
Akhirnya jadi juga blackforestnya. Cuman disiram choco glaze icing karena hari sebelumnya nyari-nyari whipped cream dan butter belum nemu yang halal. Tapi kayanya Dinda ga pernah lebih bahagia dari kemaren waktu liat birthday cake
Dilanjutkan dengan bikin nasi kuning dan lauk-pauknya. Mengganti urap sayur dengan capcay karena belom bisa bikin taburan kelapa dari serbuk kelapa instan. Tapi ternyata lebih disuka sama anak-anak.

Jadilah malam istimewa itu. Dinda dapet kado yang dia pilih sendiri, ngakunya pengen Barbie tp sampe toko mainan minta stroller buat dede bayinya yang di Belanda (yang di Bandung bawaan dari KL buat dede bayi yang di Bandung katanya). Dinda potong kue-nya, trus kita makan nasi kuning setelah sebelumnya berdoa sambil titip pesan-pesan sponsor buat Dinda. Kalo udah 4 taun, sebelum bobo harus pipis ya Din, jadi ga ngompol lagi. Trus mulai belajar ngaji-nya tiap hari ya. Belajar sholat Maghrib jamaah sama semua, jangan sambil nangis-nangis bilang cape ya. Berenti marah-marah dan ngamuk-ngamuk ya. Tetehnya disayang jangan dijajah terus. Dan seterusnya dan seterusnya. Dinda yang sedang berbahagia dapet birthday cake yang dia ikut andil mecahin telor buat bikinnya cuman mengangguk-angguk setuju. Mudah-mudahan ya Din…

~ Kit for scraps: A Good Read Kit from Millstream Cottage